Spirit of Aqsa, Palestina – Setelah lebih dari 53 tahun, kamp pengungsi Palestina Baqa’a tetap menjadi kamp pengungsi Palestina terbesar di Yordania. Kamp ini menjadi saksi penderitaan para pengungsi. Rincian tentang peristiwa Nakba (tragedi 1948) dan Naksa (traagedi 1967) hadir di gang-gang kamp dan bangunan rumah-rumah lamanya.

Kamp Baqa’a terletak 20 km dari ibu kota Yordania, Amman. Berada di atas lahan seluas kurang lebih 1,5 km2. Hanya bisa terus berkembang secara vertikal saja. Meskipun fondasi bangunan-bangunan yang ada lemah, beberapa di antaranya masih mempertahankan atap seng. Gang-gang dan jalan-jalan yang sempit tampak sebagai bukti penderitaan berkelanjutan kisah para pengungsi Palestina.

Kamp Baqa’a adalah salah satu dari 13 kamp pengungsi Palestina di Yordania. Kamp ini didirikan pada tahun 1968. Dengan tujuan untuk menampung pengungsi Palestina dan pengungsi yang meninggalkan Tepi Barat dan Jalur Gaza, akibat tragedi Naksa pada tahun 1967.

Menurut data UNRWA, ketika kamp Baqa’a didirikan, kamp tersebut adalah kamp yang besar, dengan 5.000 tenda yang dialokasikan untuk menampung 26.000 pengungsi di area seluas 1,4 kilometer persegi.
Atap seng

Banyak rumah di kamp mengalami bocor saat hujan selama musim penghujan karena atapnya masih seng. Kondisi ini yang mendorong warganya untuk menutupinya dengan penutup plastik guna mengurangi derasnya air yang masuk akibat bocor. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Kepala Komite Layanan di Kamp Baqa’a, Hassan Marshoud

Kepada koresponden Pusat Informasi Palestina, Marshod menyatakan bahwa banyak rumah di kamp sudah tua dan tidak ada sarana keuangan untuk memperbaiki kondisinya.

Marshoud menegaskan bahwa Komite Layanan Kamp telah membagikan sekitar 5 ton terpal plastik, hanya untuk menutupi atap seng. Selain ada masalah genangan-genangan air di jalan-jalan kamp selama musim penghujan.

Kemiskinan dan pengangguran

Menurut Marshoud, “Kamp Baqa’a mengalami banyak masalah, termasuk kemiskinan. Ini terbukti dari fakta bahwa rumah-rumah tetap mempertahankan struktur lama mereka. Meskipun ada 50 lembaga amal di kamp, mereka tidak dapat membantu keluarga-keluarga untuk menyediakan sarana keuangan guna merehabilitasi rumahnya, lembaga-kembaga tersebut membantu mereka untuk menyediakan kebutuhan dasar.”

Kemiskinan ini disebabkan oleh tingkat pengangguran yang tinggi, yang telah mencapai hampir 30%. Ini adalah angka yang tinggi sebagai akibat dari kepadatan kamp dengan populasi sekitar 120-130 ribu orang. Banyak di antara mereka bergantung pada pekerjaan dari pemerintah, pada saat UNRWA menghentikan layanannya belakangan ini.

Marshoud menyebutkan bahwa salah satu masalah utama kamp Baqa’a adalah kurangnya kebersihan dan penumpukan sampah di jalan-jalan, akibat kelalaian UNRWA dalam aspek ini, sebagai pihak yang berwenang dalam hal ini. Dia menyatakan bahwa petugas kebersihan hanya bekerja dari pagi sampai jam satu siang, setelah itu sampah menumpuk di jalan-jalan tanpa pengawasan.

Kepadatan dan kesulitan perluasan

Kamp Baqa’a mengalami kepadatan penduduk, sebagai akibat dari area yang terbatas, serta pembatasan perluasan bangunan, termasuk tidak diizinkan pembangunan lantai empat. Rafiq Kharfan, Direktur Jenderal Departemen Urusan Palestina, menjelaskan bahwa “pembangunan lantai empat yang mencakup semua kamp Palestina di Yordania tidak diperbolehkan, ini terkait dengan fondasi yang lemah di mana unit perumahan dibangun.

Dia menyatakan bahwa pemberian persetujuan pembangunan lantai dua dan tiga memerlukan surat keterangan asal (Certificate of Origin) dari kantor teknik untuk memikul tanggung jawab menaikan bangunan rumah.

Awal mula kamp ini berupa tenda-tenda. Demikian dijelaskan Salama Daadas, mantan direktur UNRWA kepada koresponden Pusat Informasi Palestina. Sebelum kemudian tenda diganti dengan perumahan siap pakai.

Dia menambahkan, “Awal kamp pada tahun 1968 adalah tenda-tenda yang dibagikan kepada para pengungsi. Setelah itu diganti dengan perumahan yang sudah jadi. Untuk diketahui bahwa tanah tempat tenda didirikan adalah tanah sewaan dan milik -sukuYordania yang tinggal di daerah tersebut.

Antara tahun 1969 dan 1971, UNRWA mengganti tenda dengan 8.000 rumah pra-bangun untuk melindungi orang dari kondisi musim dingin yang keras di Yordania. Kemudian, sebagian besar warga pengungsi terpaksa membangun rumah-rumah beton yang lebih kuat dan lebih tahan lama.

Daadas menyatakan bahwa kamp tersebut dikelilingi oleh lahan pertanian yang diairi dengan air tanah, yang menjadikannya sebagai daerah pertanian kedua setelah Lembah Yordan, yang memberikan kesempatan kepada warga kamp untuk bekerja di bidang pertanian.

Dia menambahkan, kamp tersebut dikelilingi oleh sejumlah pabrik, seperti pabrik aluminium Aral, pabrik farmasi, pabrik plastik, dan lain-lain, yang memberikan kesempatan kerja bagi penghuni kamp.

Krisis pendidikan

Pihak UNRWA yang mensupervisi pendidikan di kamp selama tahap pendidikan dasar. Di mana UNRWA memiliki 16 sekolah untuk putra dan putri. Jumlah siswa diperkirakan 16.000. Sedangkan untuk tahap pendidikan menengah , ada dua sekolah untuk putra dan dua sekolah untuk putri dari Kementerian Pendidikan Yordania.

Salah satu masalah pendidikan yang paling menonjol di kamp adalah tingginya jumlah siswa dalam satu kelas yang terdiri dari lebih dari 50 siswa putra atau putri. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat prestasi akademik siswa.

Kurangnya penunjukan guru baru, mengakibatkan sejumlah besar guru adalah gugur pengganti. Hal ini diakibatkan oleh defisit keuangan kronis yang terjadi pada UNRWA. Kondisi ini menyebabkan kurang amanya pekerjaan bagi para guru.

Penderitaan yang dialami kamp pengungsi Palestina Baqa’a menjadi contoh penderitaan para pengungsi Palestina yang tersebar di seluruh dunia.

Lebih dari 2,1 juta pengungsi Palestina terdaftar tinggal di Yordania. Semua pengungsi Palestina di Yordania menikmati kewarganegaraan penuh Yordania, kecuali sekitar 140.000 pengungsi dari Jalur Gaza. (Admin/Palinfo)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here