Spirit of Aqsa, Palestina –  Segala hal yang berkaitan dengan masalah air di Jalur Gaza tidak seperti yang diharapkan. Jalur Gaza mengalami kelangkaan dan salinitas air, sehingga lebih dari 97% airnya menjadi tidak layak pakai.

PBB menetapkan setiap tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia sejak 22 Maret 1993. Hal ini dijadikan sebagai memoentum untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah yang berhubungan dengan air dan mengadvokasi pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya air.

Bencana yang dialami Palestina pada tahun 1948 dijadikan penjajah Israel untuk mengukuhkan strategi hegemoni sumber daya air dengan tujuan untuk mengontrol keamanan dan keteraturan hidup bagi seluruh penduduk Palestina yang diduduki, tetapi yang paling menderita adalah mereka yang sebagian tinggal di Gaza dan Tepi Barat.

Masalah air adalah salah satu pilar konflik antara entitas Zionis dengan tetangganya. Hal ini terwujud dalam pencurian air dari bawah tanah dan sumber air alami bahkan reservoir bawah tanah di Palestina, Yordania, Suriah dan Lebanon.

Ancaman yang meningkat

Tidak ada yang bisa mengalahkan penderitaan kemanusiaan warga Jalur Gaza terkait masalah air. Pada tahun 2012, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan laporan yang menunjukkan bahwa Jalur Gaza tidak akan layak huni pada tahun 2020 akibat krisis air.

Palestina umumnya dianggap sebagai wilayah dengan sumber daya air yang langka. Penduduknya terutama bergantung pada akuifer (lapisan yang terdapat di bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air) dan Danau Galilea sebagai sumber daya kedua, dan hal itu yang nampak tanda-tandanya dalam detail konflik antara penjajah Israel dan tetangganya.

Shalah Abdel-Aty – seorang ahli hak asasi manusia – menegaskan bahwa Hari Air Sedunia menunjukkan hak Palestina atas sumber daya alam terus-menerus mengalami pelanggaran hukum yang dilakukan oleh otoritas penjajah Israel.

Kepada Pusat Informasi Palestina, dia menambahkan, “Penjajah Israel membuat perangkap air dan mendirikan permukiman Yahudi di masa lalu di Gaza untuk mengontrol air sampai kondisi mencapai 97% air Gaza menjadi tidak layak untuk digunakan.”

Praktek-praktek yang dilakukan penjajah Israel terkait dengan masalah air di Palestina pada umumnya dan Jalur Gaza pada khususnya jelas merupakan pelanggaran hukum internasional, hukum kemanusiaan internasional serta banyak piagam dan perjanjian internasional, tetapi perimbangan kekuatan dalam semua ini telah mengalahkan ketentuan dalam hukum.

Naji Al-Battah – seorang ahli urusan Israel – mengatakan bahwa air memainkan peran penting dalam konflik dengan entitas Zionis karena beberapa alasan, yang paling penting adalah: “kekuarangan sumber daya air Palestina, ketergantungan pada reservoir bawah tanah, dan pendudukan Danau Tiberias “

Menurut Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916, ada pembagian perairan antara negara-negara kolonial atas negara-negara Arab, dan Palestina adalah salah satunya, dan pembagian itu dibuat sesuai dengan jumlah penduduk.

Ketika kemudian empat amandemen dilakukan atas Perjanjian Sykes-Picot, terjadi pengelakan terhadap hak Palestina atas Danau Galilea, yang merupakan sumber air terpenting, dan dibatasi hanya 300 meter dari kedalaman Suriah.

Dia melanjutkan, “Penjajah Israel mendominasi Danau Tiberias (Galilea), merubah aliran Sungai Yarmuk untuk kepentingannya, dan mencaplok Danau Hula di masa lalu untuk dikendalikan, dan semua konflik di al-Jalil bergantung pada perubahan Sykes-Picot untuk memastikan aliran sungai dan danai Galilea.”

Air tanah memasok reservoir air Palestina, tetapi penjajah Israel menyummbatnya di perbatasan utara dan timur Gaza setelah mendudukinya pada tahun 1967, dan ketika mereka mundur dari Jalur Gaza pada tahun 2005, penjajah Israel mendorong ekspor produk pertanian yang mengakibatkan pemborosan air secara besar-besaran.

Kekeringan membunuh Gaza

Hegemoni penjajah Israel telah menyemprotkan garam luka-luka yang dalam di Gaza sejak tahun 2006, mulai dari tindakan yang menyebabkan krisis artifisial di fasilitas air minum dan sanitasi yang aman, dan diakhiri dengan praktik apartheid yang diberlakukan pada masyarakat selama beberapa dekade.

Banyak organisasi HAM dan internasional yang menyebut blokade Gaza sebagai hukuman kolektif yang melanggar hukum berdasarkan hukum internasional terhadap hampir dua juta warga Palestina. Penutupan dan serangan militer terhadap warga sipil dan infrastruktur di Jalur Gaza telah memperdalam krisis air dan sanitasi.

Shalah Abdel-Aty – seorang pakar HAM – menyerukan pembangunan pabrik desalinasi besar yang memenuhi kebutuhan air Gaza yang sangat besar dan untuk menghadapi pelanggaran pendudukan terhadap hukum internasional dalam masalah air.

Di bagian kedua dari masalah ini, Tembok Apartheid berjalan terus sesuai dengan rencana penjajah Israel untuk memastikan dominasi penjajah Israel atas sumber daya air dan untuk memberi air kepada pemukim Yahudi 10 kali lebih banyak daripada yang diterima warga Palestina.

Pusat Hak Asasi Manusia Al-Mezan di Gaza mengeluarkan laporan terkait dengan Hari Air Sedunia. Lembaga ini yang menyatakan, “Air yang aman dan bersih bagi banyak keluarga di Gaza adalah sangat mahal dan tidak mungkin didapatkan, karena tidak ada beli untuk mengisi tangki-tangki air rumah tangga atau beli air botol kemasan.”

Laporan tersebut mengaitkan sebagian dari krisis air ini dengan memburuknya situasi ekonomi dan tingginya tingkat kemiskinan. Di mana warga Gaza beralih ke air ledeng segera setelah tersedia. Kelangkaan air berarti ketidakmampuan untuk mengambil tindakan pengamanan terhadap pandemi virus Corona.

Laporan tersebut melanjutkan, “Untuk komunitas pertanian Palestina di daerah dengan akses terbatas yang diberlakukan oleh penjajah Israel di dalam wilayah Jalur Gaza, maka air berarti kemampuan untuk pekerjaan, pertanian, dan kemakmuran, dan mungkin juga terkait dengan kebalikan dari itu, yaitu kehancuran.”

Naji Al-Battah – seorang pakar urusan Israel – menyatakan bahwa penjajah Israel mengosongkan Gaza dari sumber airnya, yang terkonsentrasi di daerah Mawasi Khan Yunis dan Beit Lahia.

Dia melanjutkan, “Israel mencuri air sebelum mundur dari Gaza di dua titik terpenting di sana melalui 36 sumur. Hari ini setelah tahun 2020, apa yang diperingatkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2012 benar-benar terjadi dan Gaza menjadi tidak layak untuk hidup.”

Masalah air adalah inti dari konflik penjajah Israel dengan Lebanon pada sungai dan sumber daya “Banias, Hasbani, Litani, dan lainnya …”, dan para pemimpin penjajah Israel telah melakukan pelanggaran terang-terangan, yang mereka nyatakan ke media.

Banyak dari rencana penjajah Israel yang masih dikerjakan secara rahasia untuk mengontrol sumber daya air di Palestina dan perbatasannya. Mungkin yang paling berbahaya di masa depan adalah proyek Terusan Bahrain dan proyek-proyek kanal yang mungkin menghubungkan Laut Merah dengan Laut Mati.

Artikel ini telah tayang di Palinfo.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here