Runtuhnya sistem kesehatan di Gaza menyebabkan banyak ibu kehilangan bayi mereka akibat kekurangan pasokan medis dan serangan terhadap rumah sakit. Inilah yang dialami oleh dr. Taghreed Al-Aimawi, seorang dokter spesialis kebidanan, yang harus menghadapi kenyataan pahit setelah bayinya syahid.
Dalam seri “Bukan Sekadar Angka” yang diproduksi oleh Pusat Al Jazeera untuk Kebebasan Publik dan Hak Asasi Manusia, Taghreed menceritakan penderitaannya saat kehilangan bayi yang dikandungnya di usia delapan bulan, tepat saat Israel melancarkan perang di Gaza.
Hamil bagi Taghreed adalah kesempatan untuk merasakan langsung penderitaan para ibu yang harus melahirkan dalam kondisi perang. Namun, penderitaannya dimulai pada 27 Oktober 2023 ketika ia melahirkan melalui operasi caesar. Bayinya harus dipasangi ventilator karena paru-parunya belum berkembang sempurna dan tidak tersedia obat akibat situasi di Gaza.
Penderitaan Taghreed bertambah saat rumahnya dibom. Ia pergi ke RS Indonesia dan menemukan suaminya memeluk kedua putrinya. Saat itu, ia merasa Allah telah menyisakan kedua anaknya untuk menguatkannya.
Taghreed mengenang bagaimana ia seharusnya membawa pulang bayinya dalam 72 jam, tetapi justru melihatnya dalam kafan. Ketika sampai di rumah sakit, ventilator telah dicabut.
“Saya membuka inkubator dan memeluk anak saya yang sudah dingin,” katanya.
Dia tidak menangis, hanya setetes air mata jatuh. Ia lalu meminta staf rumah sakit membungkus bayinya.
Taghreed kemudian membawa bayinya ke kamp pengungsi, meminta izin dari mereka yang ada di sana, lalu menggali kubur bersama beberapa orang lainnya. Saat tanah mulai menutup kuburan, ia tidak sanggup menahan kesedihannya.
Dengan penuh duka, ia berkata, “Setiap anak yang saya lihat berlari, saya membayangkan itu anak saya. Bagaimana wajahnya? Apakah ia akan berambut pirang seperti kakaknya atau berkulit gelap seperti adiknya?” Baginya, kehilangan ini bukan sesuatu yang mudah.
Dia menegaskan bahwa sistem kesehatan di Gaza telah runtuh total karena Israel secara sengaja menargetkan tenaga medis. Selama bertugas membantu para ibu melahirkan, ia harus bekerja dengan peralatan dan obat yang sangat terbatas.
Di akhir kisahnya, Taghreed menegaskan, “Saya bukan sekadar angka, dan tidak akan pernah menjadi angka. Saya adalah seorang perempuan yang telah berjuang dan bekerja keras. Saya kehilangan anak saya, rumah saya, harapan, dan impian saya. Tapi saya masih bertahan, saya masih ada.”
PBB mencatat bahwa lebih dari seribu tenaga medis di Gaza telah syahid sejak awal agresi Israel.
Sumber: Al Jazeera