Mu’tashim Stiti (41 tahun) kini tinggal bersama istri dan tujuh anaknya di sebuah rumah yang belum selesai dibangun di Tepi Barat. Mereka terpaksa meninggalkan Kamp Jenin setelah diusir secara paksa. Meski hidup dalam keterbatasan, Mu’tashim tetap berusaha menjaga tradisi Ramadan seperti biasa.
Saat bulan suci tiba tahun ini, keluarga Stiti menghadapi kenyataan yang sulit. Rumah mereka yang dulu kini tinggal kenangan. Mereka harus tinggal di tempat tanpa jendela dan pintu, berbagi ruang dengan kambing-kambing yang juga ikut mengungsi bersama mereka.
Kisah mereka bermula ketika tentara Israel menyerbu Kamp Jenin pada Januari 2025, memaksa puluhan ribu warga Palestina meninggalkan rumah mereka. Infrastruktur hancur, jalanan dan fasilitas umum porak-poranda, sementara banyak rumah sengaja dihancurkan, membuat kehidupan di kamp menjadi mustahil.

Kini, keluarga Stiti harus bertahan di rumah yang belum layak huni, tanpa fasilitas dasar. Meski begitu, istrinya tetap berusaha menjaga suasana Ramadan dengan membuat makanan manis khas bulan puasa.
“Tinggal di sini memang tidak mudah, tapi kami mencoba beradaptasi sebisa mungkin,” ujarnya.
Mu’tashim sendiri merasakan perbedaan besar dibandingkan Ramadan tahun lalu. Dulu, ia bisa menikmati suasana rumahnya bersama keluarga besar dengan perasaan tenang dan nyaman.
“Di rumah sendiri, kamu merasa aman dan nyaman. Tapi di sini, jauh dari rumah, rasanya semuanya hambar,” katanya.

Meskipun hidup di tengah kesulitan, keluarga ini tetap berusaha mempertahankan tradisi Ramadan mereka.
Di sisi lain, tentara Israel terus melanjutkan operasi militernya di Tepi Barat, menyebabkan kehancuran dan penderitaan yang tiada henti bagi warga Palestina.
Namun, di balik semua ini, rakyat Palestina tetap teguh, berpegang pada harapan, dan tidak menyerah meski berada dalam kondisi yang paling sulit.