Spirit of Aqsa, Palestina- Di tempat tertentu pada waktu tertentu, bertahan hidup adalah suatu kebanggaan bagi anak laki-laki. Apalagi mereka keluar rumah setiap hari sendirian mencari makanan agar keluarganya tidak kelaparan.

Setiap pagi, Mohammed Zo’rab (11 tahun) pergi ke Rafah di Gaza selatan untuk menjalankan sebuah misi. Dia selalu membawa sebuah mangkuk plastik berukuran besar. Dari satu sekolah ke sekolah lain yang telah menjadi pusat pengungsian, Mohammed mencari makanan.

Dia juga menyusuri kamp-kamp sementara di pinggir jalan, tempat para pengungsi yang menderita seperti keluarganya, tapi masih bisa memberi makan anak orang asing.

Rumah sakit di mana orang-orang yang terluka juga menjadi tempat tujuan bagi Mohammed. Dia menelusuri setiap tempat yang masih mendidihkan panci berisi makanan di atas api terbuka.

“Saat saya kembali ke keluarga saya dengan makanan ini, mereka bahagia dan kami semua makan bersama,” katanya.

“Kadang-kadang saya pulang dengan tangan kosong dan saya merasa sedih.”

Mohammed adalah anak tertua dari empat bersaudara dan tinggal bersama ibu, ayah, dan saudara-saudaranya di tempat penampungan beratap tipis yang terbuat dari plastik dan terpal.

Ayahnya, Khaled, menjelajahi sekitar wilayah Rafah mencari pekerjaan apa saja guna mengumpulkan lima shekel (sekitar Rp20.000) untuk membeli popok putri mereka yang berusia dua bulan, Howaida.

Mohammed hanyalah satu dari ribuan anak yang menjadi pengumpul makanan utama bagi keluarga mereka.

“Saat antrean sedang ramai dan ada hampir 100 orang di depan saya, saya menyelinap di antara mereka,” katanya, bangga dengan keahliannya dalam menavigasi kerumunan besar tanpa terlibat perkelahian.

Kembali ke rumah, dia menyerahkan semangkuk kacang panggang kepada ibunya, Samar, yang membagikan makanan tersebut kepada anak-anak lainnya.

Samar terlihat kurus dan hampir tidak bisa makan untuk dirinya sendiri.

“Saya menderita kanker di tulang saya,” ungkapnya.

Saya berusia 31 tahun, tetapi ketika Anda melihat saya, Anda mengira saya berusia 60 tahun. Saya tidak bisa berjalan.

“Jika saya berjalan, saya sangat lelah. Seluruh tubuh saya sakit dan saya memerlukan pengobatan dan nutrisi.”

Seperti banyak pengungsi lain, Samar dan keluarganya berasal dari utara di Khan Younis. Mereka datang ke Rafah karena Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan kepada mereka bahwa tempat itu aman. Itu tiga bulan lalu.

Tempat berlindung keluarga Zo’rab bocor dan lantainya dipenuhi air hujan. Terkadang, Howaida yang masih bayi tidak memiliki popok baru.

Dengan 85% penduduk Gaza kini menjadi pengungsi, jumlah bantuan yang masuk ke kantong-kantong pengungsian jauh dari jumlah yang dibutuhkan.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dibutuhkan lima ratus truk bantuan per hari. Sementara, rata-rata hariannya hanya sembilan puluh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here