Spirit of Aqsa- Anak-anak di Gaza terpaksa bekerja dalam kondisi yang semakin sulit setiap harinya, seiring dengan terus berlanjutnya agresi militer yang telah merenggut nyawa lebih dari 40.000 jiwa. Serangan ini juga menghancurkan segala aspek kehidupan dan memaksa penduduk hidup dalam kelaparan.

Sebagian anak-anak kecil menjajakan minuman dan kopi di jalanan, sementara yang lain memecahkan batu-batu di tengah kemiskinan yang semakin parah, seperti yang dilaporkan oleh Bank Dunia.

Setiap pagi 07.00, Ahmed Barbakh, seorang anak berusia 12 tahun, berkeliling di antara puing-puing rumah yang hancur akibat serangan di Khan Younis, Gaza Selatan.

“Kami mengumpulkan batu dari rumah-rumah yang hancur, lalu memecahkannya dan menjual seember batu seharga satu shekel (kurang dari seperempat dolar),” kata Ahmed, dikutip Al Jazeera, Rabu (28/8/2024).

Wajah Ahmed yang terbakar matahari Gaza dan tangan-tangannya yang terluka oleh batu-batu keras menunjukkan betapa berat pekerjaan ini. Dia menjual batu-batu tersebut kepada keluarga-keluarga yang berduka “untuk membangun kuburan”.

Namun, Ahmed tidak puas dengan penghasilannya yang kecil dari pekerjaan berat ini. “Kami hanya bisa mendapatkan 2 atau 3 shekel, yang bahkan tidak cukup untuk membeli biskuit. Kami bermimpi tentang banyak hal, tetapi kami tidak bisa mendapatkannya,” ujarnya.

Sejauh ini, serangan Israel di Gaza telah menyebabkan lebih dari 40.476 warga Palestina gugur, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.

Bertahan Hidup di Tengah Puing-Puing

Gaza adalah salah satu daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia dan juga salah satu yang termiskin. Sebelum perang, dua pertiga penduduk Gaza hidup dalam kemiskinan, dan 45% dari angkatan kerja menganggur, menurut laporan PBB.

Sekitar setengah dari populasi Gaza berusia di bawah 18 tahun, dan meskipun hukum Palestina melarang anak-anak di bawah 15 tahun bekerja, banyak dari mereka yang bekerja di sektor pertanian dan konstruksi, terutama di tengah kemiskinan yang meningkat akibat blokade selama 17 tahun.

Sejak perang dimulai, kehancuran yang meluas dan pengungsian terus-menerus telah menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan, dengan lebih dari 60% bangunan hancur atau rusak, serta pemadaman air dan listrik yang konstan.

Khamis al-Qudra, 16 tahun, dan adik laki-lakinya, Sami, 13 tahun, menjual jus di jalanan di antara reruntuhan rumah dan gang-gang di kamp pengungsi. “Kami terkena sengatan matahari, dan kaki adik saya terluka oleh pecahan puing yang menyebabkan infeksi,” kata Khamis.

Khamis juga menyebutkan bahwa adiknya menderita demam dan “tubuhnya penuh dengan ruam, dan sampai sekarang dia masih menderita karena kekurangan obat.”

Angka yang Mengerikan

Para pekerja kemanusiaan terus memperingatkan risiko keruntuhan sistem kesehatan yang sudah kewalahan sebelum perang dan kini tidak mampu menangani jumlah korban yang sangat besar, termasuk anak-anak yang semakin parah terkena malnutrisi.

Organisasi kemanusiaan melaporkan bahwa angka malnutrisi akut di kalangan anak-anak meningkat sebesar 300% di Gaza Utara dan 150% di Gaza Selatan. Selain itu, 41% keluarga di Gaza kini merawat satu atau lebih anak yang bukan keluarga mereka.

Khamis menjelaskan bagaimana perang telah memecah belah keluarganya, “Kami kehilangan rumah kami, kemudian tenda kami, dan kami telah mengungsi sembilan kali.”

Impian Kembali ke Rumah

Motasim Zaidan, 13 tahun, yang mengungsi ke Mawasi Khan Younis, kini duduk di pinggir jalan menjual kopi, thyme, dan pistachio. “Kadang-kadang saya berhasil mengumpulkan 30 shekel, tetapi itu tidak cukup untuk makanan dan roti kami, karena harga sangat tinggi dan tidak memenuhi kebutuhan dasar kami,” katanya.

Motasim mengungkapkan frustrasinya terhadap penderitaan yang dialaminya, “Saya menghabiskan berjam-jam di bawah terik matahari untuk mengumpulkan uang, tetapi habis dalam satu menit. Kami meninggalkan rumah kami hanya dengan apa yang kami bawa, dan sekarang kami meminjam piring dan sendok dari tetangga. Ini tidak mudah. Bahkan mendapatkan air pun sulit.”

Dia menambahkan, “Beberapa hari saya tidak bisa mengumpulkan 10 shekel, meskipun saya terus memanggil pembeli. Tapi tidak ada yang membeli. Jumlah itu bahkan tidak cukup untuk membeli apa pun di tengah harga yang melonjak, terutama gas dan bensin di tengah perang ini.”

Motasim menutup dengan harapan yang sederhana, “Kami hanya memikirkan kebutuhan dasar kami. Kami sudah lupa apa artinya bermain atau bersenang-senang… Yang saya inginkan hanyalah kembali ke rumah dan kehidupan lama kami.”

Sumber: AFP

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here