Di lorong-lorong RS Nasser di Khan Younis, sunyi terasa berat, hanya sesekali dipecah oleh rintihan ibu-ibu dan suara mesin pernapasan yang tersengal. Di atas kursi plastik rapuh, Rem Abdullah duduk menatap selimut bayi berwarna merah muda yang pernah ia siapkan penuh harapan. Bayinya tak sempat lahir, lapar dan ketakutan lebih dulu merenggutnya.
“Setiap hari aku menghitung waktu untuk bisa memeluknya, tapi kelaparan dan ketakutan mencurinya dariku,” ucap Rem lirih. Ia baru saja mengungsi dari Shujaiya, kehilangan rumah akibat serangan udara. Tubuhnya lelah, tak ada makanan, tak ada obat, dan janinnya berhenti bergerak hanya beberapa hari sebelum ia melahirkan.
Tak jauh dari sana, Doa al-Masri bersandar di dinding ruang bersalin. Masih mengenakan gaun operasi hijau, ia baru saja kehilangan bayinya yang lahir prematur.
“Dia lahir hidup, tapi tak ada susu, tak ada inkubator yang berfungsi penuh. Listrik padam dua kali saat proses persalinan, kami tak mampu menyelamatkannya.”
Kehancuran Sistem Kesehatan
Kisah mereka bukan pengecualian. Di ruang lain, Maha al-Hassan terbaring lemah setelah kehilangan bayinya di usia kandungan tujuh bulan. Ia berjalan berjam-jam menyeberangi Gaza tanpa air dan makanan, hingga ke Khan Younis. Saat tiba, janinnya telah tiada.
Dokter kandungan Omar Abu Muhsin mengatakan, “Dalam satu malam, 10 janin meninggal dalam kandungan ibu-ibu yang lapar dan kelelahan.” Listrik padam, obat-obatan habis, darah tak tersedia, operasi caesar dilakukan dengan kondisi seadanya. Setiap persalinan kini menjadi perjudian hidup dan mati.
Selama 24 jam, RS Nasser mencatat 13 kematian bayi: 10 meninggal dalam kandungan, 3 lainnya tak bertahan lama di inkubator. Perawat Shadha Ashraf menyebut malam itu sebagai “yang terpanjang dalam hidupku.” Suara tangis ibu-ibu yang kehilangan bayinya bercampur dengan dengung pesawat tanpa awak di langit, seolah kematian telah menjadi satu-satunya siaran yang diputar Gaza.
Lapar sebagai Senjata
Kekurangan gizi kini menjadi senjata tak kasatmata. Konsultan gizi Muhammad al-Rai menegaskan, ibu hamil yang hanya makan makanan tanpa protein dan vitamin sangat rentan keguguran dan kelahiran prematur. Tanpa susu, sayuran, atau buah segar, tubuh mereka tak mampu menopang kehidupan. “Bahkan anak yang lahir hidup, menghadapi risiko stunting dan anemia parah,” ujarnya.
Data Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 180 janin meninggal dalam kandungan dan 45 bayi prematur wafat hanya dalam sepekan terakhir. Angka keguguran melonjak 60% sejak blokade terakhir. “Setiap operasi caesar kini setara dengan menantang maut,” kata Zahir al-Wahidi dari unit informasi kesehatan.
Gagalnya Kemanusiaan
Amjad al-Shawa, Direktur Jaringan LSM Palestina, menegaskan: “Ini bukan sekadar tragedi, ini kejahatan perang.” Menurutnya, melarang makanan, obat, dan perawatan bagi ibu hamil adalah bentuk pembunuhan perlahan. Pasal-pasal Konvensi Jenewa jelas melarangnya, tapi dunia membiarkan.
Gaza kini menghadapi bencana berlapis: pengepungan, kelaparan, runtuhnya sistem kesehatan, dan pembunuhan massal yang merenggut generasi bahkan sebelum mereka sempat lahir.
Setiap tangisan yang terputus di ruang bersalin bukan hanya cerita pribadi, melainkan dakwaan atas dunia yang memilih diam.