Sebuah laporan menggemparkan dari Haaretz, salah satu media terkemuka Israel, menyatakan bahwa Kota Rafah di selatan Jalur Gaza telah dihapus sepenuhnya dari peta. Namun, kehancuran tak berhenti di sana, kota-kota dan kamp-kamp pengungsi lain seperti Jabalia, Beit Lahia, Beit Hanoun, dan sejumlah distrik di Khan Younis mengalami nasib serupa: dulunya penuh kehidupan, kini hanya puing-puing yang tersisa.

Laporan itu membandingkan citra satelit Rafah pada Oktober 2023, yang kala itu menampilkan kota yang hidup, dipenuhi bangunan, masjid, dan lahan pertanian, dengan gambar pada Juni 2025, yang menunjukkan sebuah hamparan datar dua dimensi yang dipenuhi abu dan reruntuhan.

Para penulis laporan, termasuk editor keamanan nasional Avi Scharf, serta analis Nir Hasson dan Yarden Michaeli, juga menyoroti narasi destruktif yang berkembang di kalangan publik dan media Israel.

Mereka mengkritik suara-suara yang terang-terangan menyerukan penghancuran total Gaza, termasuk pernyataan pembawa acara TV Saluran 14, Shimon Riklin, yang mengaku tidak bisa tidur jika belum menonton video pemboman rumah-rumah di Gaza.

Ia bahkan menyatakan ingin melihat “lebih banyak dan lebih banyak rumah yang dihancurkan, apartemen yang diratakan, agar warga Gaza tak punya tempat untuk kembali.”

Kehancuran yang Mengalahkan Hiroshima dan Nagasaki

Menurut laporan itu, tingkat kerusakan di Rafah dan kamp Jabalia bahkan melebihi kehancuran yang ditimbulkan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki.

Jumlah penduduk sebelum perang di wilayah yang kini rata dengan tanah sangat signifikan:

– Rafah: 275.000 jiwa

– Jabalia: 56.000 jiwa

– Beit Lahia: 108.000 jiwa

– Beit Hanoun: 62.000 jiwa

– Abasan al-Kabira (wilayah di Khan Younis): 30.000 jiwa

– Bani Suheila: 46.000 jiwa

Ribuan warga diusir, dan banyak di antaranya terbunuh. Haaretz menyebut kehancuran ini melampaui tragedi kota-kota seperti Aleppo, Mosul, Sarajevo, dan Kabul.

Angka-angka yang Mengerikan

Data dari PBB yang dikutip dalam laporan ini menyebut bahwa dua pertiga bangunan di seluruh Gaza telah hancur atau rusak, sekitar 174.000 dari total 250.000 bangunan.

Dari angka itu, 90.000 bangunan hancur total atau hampir total, sementara 52.000 lainnya mengalami kerusakan parah. Sisa 33.000 bangunan belum bisa dinilai tingkat kehancurannya.

Tak hanya bangunan tempat tinggal, lebih dari 2.000 institusi pendidikan dihancurkan, termasuk 501 sekolah dari total 564.

Infrastruktur vital lumpuh: 81% jalan raya, serta jaringan listrik, air bersih, dan sanitasi, luluh lantak.

Sektor pangan pun dilumpuhkan secara sistematis:

– Populasi ayam petelur anjlok 99%

– Populasi sapi menyusut 94%

– Produksi perikanan turun 93%

PBB memperkirakan jumlah reruntuhan mencapai 50 juta ton, dan proses pembersihannya akan memakan waktu setidaknya 20 tahun.

Lebih dari Sejuta Orang Hidup di Tengah Reruntuhan dan Sampah

Laporan ini juga mencatat bahwa lebih dari satu juta pengungsi kini hidup di tenda-tenda di kawasan al-Mawasi dan wilayah pesisir Gaza bagian barat. Mereka memasang tenda di atas trotoar, tumpukan sampah, bahkan reruntuhan, tanpa akses air, listrik, atau sanitasi yang layak, di tengah wabah nyamuk dan kelaparan yang terus memburuk.

Lima Gelombang Penghancuran

Laporan tersebut menguraikan bahwa penghancuran Gaza dilakukan dalam lima gelombang besar:

1. Gelombang pertama dimulai saat perang pecah, serangan udara menghantam infrastruktur sipil dengan dalih menargetkan pejuang Hamas. Dalam pekan pertama saja, sekitar 6.000 bom dijatuhkan.

2. Gelombang kedua pada awal 2024, Israel membangun koridor militer Netzarim, menggusur ribuan bangunan dengan buldoser dan tank.

3. Gelombang ketiga di pertengahan 2024, fokus pada Rafah dan perluasan Koridor Philadelphi di perbatasan Mesir.

Strategi baru digunakan: kendaraan lapis baja dikirim dengan penuh bahan peledak, dikendalikan jarak jauh untuk meledakkan lingkungan pemukiman.

4. Gelombang keempat, penyisiran wilayah utara Gaza seperti Jabalia, Beit Lahia, dan Beit Hanoun.

5. Gelombang kelima terjadi bahkan setelah deklarasi gencatan senjata pada Januari 2025. Dalam operasi bernama “Gideon’s Chariots”, militer Israel menerapkan taktik penghancuran sistematis dengan menggandeng kontraktor sipil yang diberi insentif berdasarkan jumlah bangunan yang diratakan.

Haaretz: Dunia Akan Menangisi Gaza, Tapi Terlambat

Di akhir laporannya, Haaretz menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Gaza merupakan tanda kehancuran tatanan dunia berbasis hukum internasional. Dunia, katanya, suatu hari akan menangisi Gaza, namun, saat itu semuanya sudah terlambat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here