Ketakutan yang telah lama menghantui ribuan keluarga Palestina kini berubah menjadi nyata. Knesset Israel resmi mengesahkan rancangan undang-undang hukuman mati bagi sandera Palestina dalam pembacaan pertamanya, sebuah langkah yang disebut banyak pengamat sebagai legalisasi kekejaman yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Bagi Um Abdullah, istri dari seorang tahanan yang dijatuhi hukuman seumur hidup, kabar itu seperti membuka kembali luka lama. Ia sudah menanggung pil pahit saat mengetahui nama suaminya tidak termasuk dalam “Kesepakatan Badai Pembebasan” yang membebaskan hampir dua ribu tahanan Palestina. Kini, dengan undang-undang baru itu, ketakutannya berlipat ganda.

“Kami hidup dari harapan kebebasan,” katanya kepada Al Jazeera Net, “tapi keputusan ini mengubah harapan menjadi ketakutan. Mereka ingin menjadikan pembunuhan sebagai hukum yang sah.”

Ia menuturkan bahwa sejak perang di Gaza meletus, kondisi di penjara-penjara Israel semakin memburuk: kunjungan keluarga dilarang, makanan dikurangi, barang-barang tahanan disita, dan siksaan fisik maupun psikologis meningkat.

“Apa yang terjadi di balik jeruji itu,” katanya lirih, “adalah bentuk pembunuhan bertahap, mereka tak butuh undang-undang untuk membunuh anak-anak kami.”

Hukum Rasis dengan Motif Balas Dendam

Menurut rancangan yang disahkan Komite Keamanan Nasional Israel, hukuman mati hanya berlaku bagi “sandera Palestina yang dituduh membunuh warga Israel dalam serangan bermotif nasional atau keamanan”, tidak termasuk warga Yahudi yang melakukan kejahatan serupa terhadap warga Palestina.

Khalid Mahajneh, pengacara dari Komisi Urusan Tahanan Palestina, menyebut rancangan ini sebagai “produk kebencian politik yang melegitimasi diskriminasi.” Ia menilai, keputusan untuk membolehkan vonis mati dengan suara mayoritas hakim (bukan mufakat) merupakan serangan serius terhadap prinsip keadilan.

“Inti rancangan ini adalah memperluas kewenangan negara untuk membunuh orang Palestina secara legal,” ujarnya. “Israel tak lagi sekadar melaksanakan pembunuhan di balik tembok penjara, ia kini ingin memberi payung hukum bagi kejahatan itu.”

Mahajneh menilai, hukum ini lahir dari suasana politik penuh kebencian yang menyelimuti Israel sejak 7 Oktober 2023. Ia menegaskan, selama berbulan-bulan, otoritas penjara telah melakukan apa yang disebutnya sebagai “eksekusi diam-diam” melalui kelaparan, penelantaran medis, dan penyiksaan sistematis.

“Pesan Politik: Nyawa Palestina Tak Bernilai”

Mahajneh menegaskan bahwa undang-undang ini tidak hanya soal hukuman, tetapi juga pesan politik dari blok sayap kanan Israel yang dipimpin oleh Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich.

“Mereka ingin menanamkan satu pesan sederhana kepada masyarakat: bahwa hidup orang Palestina tidak berharga,” katanya. “Bukan sekadar retorika politik, ini adalah upaya menormalkan kekerasan lewat undang-undang.”

Ia memperingatkan, jika rancangan itu lolos dalam dua pembacaan berikutnya, Israel akan menghadapi kecaman hukum internasional yang serius, karena menjadikan pembunuhan negara sebagai kebijakan resmi yang melanggar hukum kemanusiaan internasional.

Menghalalkan yang Telah Lama Terjadi

Bagi Muzaffar Dzuqan, Direktur Club Al-Asir (Klub Tahanan Palestina), rancangan ini bukanlah kebijakan baru, melainkan upaya untuk memberikan legitimasi terhadap kejahatan yang telah lama dilakukan.

“Israel tidak butuh undang-undang untuk mengeksekusi para tahanan,” katanya kepada Al Jazeera Net. “Selama bertahun-tahun, mereka telah melakukannya dengan cara lain — lewat penelantaran medis, penyiksaan, atau peluru langsung di sel.”

Ia menyebut pemerintahan Netanyahu sebagai “yang paling ekstrem dalam sejarah Israel,” dan menganggap momen perayaan anggota Knesset (ketika Ben-Gvir membagikan permen usai pengesahan undang-undang) sebagai “simbol kehancuran moral dan kemanusiaan.”

Tujuan: Menakut-nakuti dan Mematahkan Perlawanan

Menurut Dzuqan, inti kebijakan ini adalah teror psikologis, upaya untuk mematahkan semangat perlawanan di dalam penjara dan menanamkan rasa takut di luar sana.

“Ini bagian dari sistem terorisme negara,” ujarnya. “Dari pembantaian massal di Gaza hingga kebijakan kematian di penjara, semua diarahkan untuk menghancurkan kehendak rakyat Palestina.”

Ia memperingatkan bahwa dukungan politik dan militer dari Amerika Serikat serta Eropa membuat Israel merasa kebal terhadap hukum internasional. Namun ia menegaskan, perjuangan rakyat Palestina tidak akan berhenti.

“Mereka bisa membuat undang-undang untuk membunuh,” katanya tegas, “tapi mereka tak bisa membunuh keyakinan dan keteguhan rakyat kami.”

Realitas yang Mengerikan di Balik Jeruji

Menurut data terbaru lembaga tahanan Palestina (November 2025), Israel kini menahan sekitar 9.250 tahanan Palestina, di antaranya:

  • 3.368 tahanan administratif tanpa dakwaan atau pengadilan,
  • 1.205 tahanan dikategorikan sebagai “pejuang ilegal,”
  • lebih dari 350 anak-anak, dan
  • 49 perempuan.

Ratusan lainnya masih ditahan di kamp militer, di luar pengawasan hukum. Di tengah situasi itu, undang-undang hukuman mati ini memperlihatkan wajah paling gelap dari kebijakan pendudukan: menjadikan kematian bukan lagi pelanggaran, tapi instrumen negara.

Sumber: Al Jazeera, Media Palestina

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here