purnawirawan Jenderal Israel, Ischaq Brik, melontarkan kritik tajam terhadap pemerintah dan komando militer Israel karena gagal mencapai tujuan perang. Menurutnya, kegagalan ini disebabkan oleh ketidaksiapan struktur militer Israel saat ini untuk memenangkan perang, baik di satu medan seperti Gaza, apalagi di banyak front sekaligus.

Namun, kali ini ia menambahkan dimensi yang belum pernah ia ungkap sebelumnya: Israel sedang melaju menuju jurang kehancuran akibat “kekuasaan kelompok fanatik agama dan ilusi religius” yang menyelimuti para pemimpinnya—sesuatu yang menurutnya sama sekali tidak selaras dengan realitas keamanan dan militer di lapangan.

Dalam artikel terbaru di surat kabar Maariv, Brik—yang pernah menduduki berbagai posisi tertinggi di militer Israel—menegaskan bahwa militer Israel saat ini “tidak siap perang, baik untuk bertahan maupun menyerang.” Ia menuding para pemimpin politik, terutama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu serta dua menterinya, Itamar Ben Gvir (Keamanan Nasional) dan Bezalel Smotrich (Keuangan), sebagai tawanan doktrin agama “Kristiani” yang mengabaikan fakta-fakta keras di lapangan.

Brik memulai tulisannya dengan menegaskan bahwa evaluasinya didasarkan pada pengalamannya selama puluhan tahun, bukan pengamatan dari luar. “Saya mengenal militer Israel dari dalam lebih baik daripada siapa pun,” ujarnya. Ia menyebut daftar panjang jabatan yang pernah ia pegang: komandan pasukan lapis baja, pemimpin Divisi 36, wakil komandan pasukan darat, kepala korps selatan, dan kepala akademi militer.

Selama sepuluh tahun, ia juga menjabat sebagai Ombudsman Militer—jabatan yang memberinya akses langsung ke lebih dari 1.600 unit militer di darat, udara, laut, hingga unit pelatihan, logistik, dan infrastruktur.

Dari pengalamannya di Perang Atrisi, Perang Yom Kippur 1973, hingga Perang Lebanon I tahun 1982, Brik merasa sangat memahami kesiapan dan kelemahan mendasar militer Israel. Ia menyatakan telah menelaah seluruh laporan pengawas negara dan lembaga keamanan, dan hasilnya menguatkan kesimpulannya: militer Israel mengalami “kesenjangan berbahaya,” terutama pada pasukan darat.

Ia pun menyimpulkan: “Semua indikator menunjukkan krisis terdalam dalam sejarah militer Israel. Banyak prajurit dan komandan mengaku putus asa—lebih memilih keluar dari sistem militer yang sedang runtuh ini.”

Kegagalan Total

Menganalisis kondisi militer saat ini, Brik menyatakan bahwa militer Israel “gagal mencapai tujuan utama perang” yaitu menghabisi Hamas dan membebaskan para sandera. Ia memperingatkan bahwa kelanjutan perang dengan cara seperti ini hanya akan memperparah kegagalan dan berisiko kehancuran total jika perang di banyak front pecah sekaligus.

Ia secara langsung menyalahkan para pemimpin politik dan militer: “Pemerintah seharusnya berpegang pada kesepakatan lama yang ditandatangani Netanyahu di masa jabatan sebelumnya, dan fokus membangun kembali kekuatan militer, bukan justru mendorongnya pada perang tanpa akhir.”

Para pemimpin militer dan politik saat ini tak luput dari kritik. Brik menuduh mereka bungkam dan tunduk pada garis politik ekstrem. “Masalahnya, para jenderal yang pensiun dan terjun ke politik cenderung dikendalikan oleh ideologi yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan,” katanya.

Menurut Brik, kegagalan menghadapi Hamas dan Hizbullah merupakan akibat dari pemangkasan anggaran militer darat selama dua dekade terakhir, ditambah krisis sumber daya manusia, logistik, perawatan, serta budaya organisasi militer yang sudah rusak dari dalam.

Dogma Mesianis Mengalahkan Realitas

Namun bagian paling mengguncang dalam tulisannya adalah kritik tajam terhadap “dogma mesianis” yang ia anggap telah menguasai pikiran sebagian pemimpin Israel. Mereka, menurutnya, hidup dalam delusi bahwa “Tuhan akan menolong mereka,” tanpa memperhitungkan keseimbangan militer atau kesiapan strategis.

Menyindir tokoh-tokoh seperti Ben Gvir dan Smotrich, Brik menulis: “Mereka mendorong Netanyahu untuk terus melanjutkan perang yang tak punya arah, demi tujuan-tujuan yang mustahil dicapai saat ini, seperti memusnahkan Hamas.”

Ia juga mengkritik para mantan jenderal yang kini mengenakan kippah (kopiah Yahudi) dan menjadi konsultan atau politisi, tetapi justru menyangkal realitas keras dan berlindung di balik iman religius untuk membenarkan kegagalan yang berulang.

Untuk memperkuat argumennya, Brik mengangkat sejarah kelam Yahudi: kehancuran Bait Suci pertama dan kedua, tragedi Holocaust, serta pemberontakan Bar Kokhba yang menyebabkan 600 ribu orang Yahudi tewas dan pengusiran selama dua milenium. Semua itu, menurutnya, akibat delusi dogma yang mirip dengan situasi hari ini.

Kehancuran Menyeluruh

Menurut Brik, memaksakan perang yang tidak mampu dimenangkan secara militer justru memperburuk segalanya: kondisi sandera makin memburuk, korban di pihak tentara terus bertambah, Israel terpuruk dalam krisis diplomatik, militer runtuh dari dalam, dan masyarakat sipil kacau—pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi hancur.

Dengan nada frustrasi, ia menulis, “Ini pemerintahan ilusi. Mereka lebih peduli mempertahankan kekuasaan daripada menjaga keselamatan negara. Mereka membawa Israel ke jurang kehancuran dengan kecepatan gila.”

Brik mengakhiri tulisannya dengan peringatan keras: “Para pemimpin hari ini hidup dalam delusi religius yang tak punya kaitan dengan realitas keamanan. Dan saat mereka menabrak tembok kenyataan, satu-satunya pembenaran mereka adalah bahwa ‘Tuhan akan menolong.’ Padahal negara ini tengah runtuh dari dalam.”

Ia mengaku memiliki ribuan kesaksian, dokumen, laporan, dan wawancara yang mendukung semua klaimnya. Ia menyerukan penghentian “kegilaan mesianis” dan menuntut pemulihan profesionalisme militer Israel, bebas dari delusi religius dan retorika kosong.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here