Di sebuah rumah reyot yang telah lama ditinggalkan selama lebih dari 40 tahun di Wadi Burqin, barat Kamp Pengungsi Jenin, Soad Abu Atiyah dan keluarganya mencoba bertahan hidup setelah terusir dari rumah mereka di lingkungan Hawashin. Pengusiran itu bukan pilihan, tapi paksaan dari moncong senapan tentara pendudukan Israel.
Hari-hari pertama pengungsian adalah neraka. Keluarga Soad tinggal sementara di rumah kerabat, hingga akhirnya menemukan tempat berteduh—sebuah rumah kosong tanpa jendela, tanpa pintu, tanpa perabot, namun cukup untuk sekadar berlindung dari hujan dan terik. Rumah itu pun belum mereka miliki. Sang suami, Abu Sami, hanya bisa memohon pada pemiliknya untuk menunda pembayaran sewa.
Di dalam rumah itulah, Sami—putra sulung Soad—berjuang mempersiapkan ujian akhir sekolah menengah (tawjihi). Namun suasana rumah yang sesak dan gelap membuatnya sulit belajar. Mereka bahkan tak sempat membawa tas sekolah saat mengungsi. Anak-anak mereka kini terdaftar di sekolah lokal, tapi datang ke kelas dengan malu karena tak punya perlengkapan sekolah seperti teman-temannya.
“Setiap malam seperti perang. Kami tidur ditemani nyamuk, serangga, dan kegelisahan,” ujar Soad. “Kami butuh kasur, selimut, dan jendela yang layak. Bahkan untuk sekadar mandi, kami kesulitan.”
“Hutan Bahagia” yang Menyimpan Luka
Tak jauh dari sana, di sebuah gudang pertanian di lereng bukit yang menghadap ke kamp Jenin, Hiba Salim (32) dan tujuh anaknya juga menggantungkan harapan. Ironis, wilayah yang dikenal sebagai Horsh Al-Saada atau “Hutan Bahagia”, justru menjadi simbol penderitaan.
“Setiap pagi, dari tempat ini, saya melihat buldoser Israel menghancurkan rumah-rumah kami. Hati saya seperti tercabik,” kata Hiba dengan suara lirih. Anak-anaknya tak punya tempat bermain selain merakit rumah-rumahan dari kayu dan batu bekas. Mereka tertawa, membangun, lalu menghancurkan kembali bangunan mainan itu. Di situlah mereka menghibur diri, jauh dari dunia anak-anak yang seharusnya.
“Suhu semakin panas, tempat ini tidak aman. Tapi kami tak punya pilihan. Anak-anak butuh bergerak, tapi ruang ini terlalu sempit untuk mereka,” tutur Hiba.
Sekolah dan Masa Depan yang Hilang
Bagi para ibu seperti Soad dan Hiba, masa depan anak-anak mereka kian suram. Tahun ajaran hampir berakhir, namun anak-anak mereka kehilangan kesempatan belajar. Pemerintah Palestina sempat menawarkan sistem daring, namun listrik yang sering padam dan tak adanya perangkat membuat sistem itu tak bisa diakses.
“Saya khawatir anak-anak saya akan tumbuh tanpa pendidikan. Kami bahkan tak bisa menjamin keselamatan mereka dari binatang buas atau sengatan matahari saat mereka bermain di luar,” kata Hiba.
Krisis yang Memburuk, Solusi Tak Kunjung Datang
Kondisi pengungsi di Jenin terus memburuk tanpa solusi nyata dari Otoritas Palestina di Ramallah. Menurut data Balai Kota Jenin, lebih dari 22.000 warga terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak dimulainya operasi militer Israel “Tembok Besi” pada 21 Januari lalu. Tingkat pengangguran meningkat, dan lebih dari 1.200 toko tutup permanen. Diperkirakan, kerugian ekonomi di Jenin mencapai 300 juta dolar AS.
Kini, lebih dari seperempat warga Jenin hidup sebagai pengungsi internal. Mereka kehilangan rumah, pekerjaan, pendidikan, dan harapan.
“Yang kami inginkan hanya satu: pulang. Kami rindu rumah, jalan, dan kehidupan kami di kamp. Tapi sampai kapan kami harus menunggu?” ujar Soad, menutup percakapan.