Spirit of Aqsa- Kemunculan Hussein Fayyad, Komandan Batalion Beit Hanoun dari Brigade Al-Qassam, mengungkap kegagalan intelijen besar Israel selama perang di Gaza, menurut analis militer Elias Hanna.
Media Palestina pada Rabu lalu merilis video yang menunjukkan Hussein Fayyad (Abu Hamza) masih hidup, delapan bulan setelah Israel mengklaim telah membunuhnya di utara Gaza. Menanggapi ini, radio militer Israel mengeluarkan pernyataan bahwa klaim tersebut ternyata tidak akurat.
Kesalahan Berulang
Elias Hanna mencatat bahwa ini bukan pertama kalinya Israel menyampaikan informasi keliru tentang kematian pemimpin perlawanan. Sebelumnya, Israel juga mengklaim telah membunuh Mahmoud Hamdan, Komandan Batalion Tel Sultan, bersama pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, namun klaim itu ternyata tidak benar.
Selama serangan di Rumah Sakit Al-Shifa, Israel merilis daftar pemimpin Hamas yang diklaim telah ditangkap. Beberapa di antaranya ternyata sudah meninggal atau tidak berada di Gaza. Juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, kemudian menyebut pernyataan itu sebagai “kesalahan teknis.”
Menurut Hanna, pengumuman pembunuhan seorang pemimpin seharusnya didasarkan pada informasi akurat, termasuk analisis DNA. Namun, klaim terhadap Fayyad menunjukkan lemahnya data intelijen Israel.
Kecerdikan Perlawanan
Brigade Al-Qassam dan kelompok perlawanan lainnya jarang mengonfirmasi kematian pemimpinnya untuk mengaburkan strategi dan mencegah Israel mendapatkan informasi yang lebih akurat. Hal ini, menurut Hanna, mencerminkan kecerdikan mereka dalam beroperasi.
Hanna juga menyoroti perbedaan besar antara data Israel dan realitas di lapangan. Misalnya, Israel sebelumnya mengklaim bahwa Gaza memiliki 250 km jaringan terowongan, tetapi investigasi kemudian mengungkap panjangnya mencapai 750 km.
Kemampuan perlawanan untuk bergerak dari utara ke selatan Gaza di tengah kehancuran dan serangan udara juga membuktikan bahwa banyak terowongan masih berfungsi. Selain itu, Hanna menegaskan bahwa kegagalan Israel juga disebabkan oleh minimnya agen di lapangan yang bisa memberikan informasi taktis.
Israel sering mengandalkan program kecerdasan buatan seperti “Khuzama” dan “Hasura” untuk menyerang para pemimpin perlawanan berdasarkan data yang telah dimasukkan sebelumnya. Namun, banyak dari informasi itu ternyata tidak akurat.
Kematian Yahya Sinwar, misalnya, terjadi secara kebetulan, karena ia berada di luar terowongan dan ikut bertempur, menunjukkan kelemahan intelijen Israel meskipun ada operasi besar untuk mencarinya di dalam terowongan.
Hanna menyimpulkan bahwa setelah pertempuran berakhir, banyak kelemahan Israel akan terungkap, yang kemungkinan menjadi alasan di balik gelombang pengunduran diri di kalangan komandan militer Israel setelah gencatan senjata.
Sumber: Al Jazeera