Harian Haaretz menilai Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sedang berupaya memoles rencananya untuk menguasai Gaza dengan bahasa yang terdengar moderat. Namun, isi pidatonya dan sejarah kebijakan Israel cukup untuk menyingkap tujuan sebenarnya.
Dalam laporan yang ditulis Dalia Scheindlin, Haaretz mencatat bagaimana Netanyahu berulang kali menegaskan rencana pemerintahannya bersifat “hati-hati, pragmatis, dan tegas”, bukan pendudukan penuh Gaza, melainkan hanya Kota Gaza. Ia bahkan menyebut Israel “tidak ingin menduduki Gaza, tetapi membebaskannya.”
Kepada Fox News, Netanyahu mengungkap ingin menyerahkan administrasi sipil Gaza kepada “kekuatan Arab.” Dalam pernyataan resmi, ia menegaskan bahwa baik Hamas maupun Otoritas Palestina tidak akan memerintah di sana.
Namun, menurut Haaretz, klaim itu kemungkinan besar menyesatkan. Ia menyebut rencana tersebut hanya “sementara” dan “terbatas,” padahal Israel tetap akan mempertahankan kendali keamanan penuh serta keberadaan militer di wilayah sekitar, sambil menyerahkan kendali sipil ke pihak ketiga.
Bagi Haaretz, sejarah membuktikan bahwa Israel jarang berhenti di titik awal yang diklaim. Wawancara Netanyahu dengan Fox News menunjukkan indikasi itu, terutama saat ia menjawab “kami berniat” ketika ditanya apakah Israel akan menguasai Gaza. Netanyahu berkilah bahwa setelah Hamas hancur dan keamanan Israel terjamin, Gaza akan diserahkan kepada otoritas sipil Arab. Masalahnya, tak ada negara Arab yang bersedia mengambil alih peran tersebut.
Perbedaan nada pidato Netanyahu juga mencolok. Dalam konferensi pers berbahasa Inggris untuk media asing, ia menegaskan kekuatan sipil yang memerintah Gaza “bukan Israel.” Tetapi dalam konferensi pers berbahasa Ibrani, pernyataan itu hilang sama sekali, dan tidak ada kalimat “kami tidak ingin menduduki Gaza.”
Saat ditanya mengapa operasi hanya fokus ke Kota Gaza, Netanyahu menjawab, “Kami tidak akan berhenti di sini,” lalu menolak merinci tahap berikutnya. Ia juga mengonfirmasi rencana membangun “zona kemanusiaan” untuk memusatkan warga di area non-tempur, konsep yang disebut Haaretz sebagai kedok perlindungan sipil yang justru sering menjadi target serangan.
Haaretz mengingatkan, janji “pendudukan sementara” atau “terbatas” bukanlah hal baru. Israel punya sejarah panjang mengubah pendudukan sementara menjadi permanen, mulai dari kontrol militer, ekspansi pemukiman, hingga pembiaran perkembangan kawasan yang awalnya ditentang pemerintah sendiri.
Contoh klasiknya: makan malam Paskah 1968 di Hebron yang kemudian melahirkan pemukiman Kiryat Arba, rumah bagi figur seperti Baruch Goldstein (pelaku pembantaian di Masjid Ibrahimi) dan Itamar Ben Gvir, yang membawa calon istrinya berziarah ke makam Goldstein pada kencan pertama.
Kesimpulan Haaretz tegas: perbedaan antara “kontrol keamanan” dan “kontrol sipil,” atau antara pendudukan yang “sementara, terbatas, pragmatis, dan manusiawi” hanyalah ilusi. “Letakkan kata-kata pemerintah Israel di bawah lensa realitas masa lalu dan masa kini, maka masa depan akan tampak jelas, dan menyakitkan,” tulis Haaretz.
Sumber: Haaretz