Guru asal Gaza, Nur Abu ‘Isya, menuliskan pengalamannya dalam artikel yang dipublikasikan oleh media independen AS Mondoweiss. Nur adalah penyintas dari salah satu pembantaian paling mengerikan yang dilakukan pasukan Israel di Sekolah Al-Nashr, yang kala itu berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi anak-anak dan keluarga selama perang.

Anak-anak Terbakar Hidup-hidup

Tragedi yang dialaminya terjadi tak lama setelah pembantaian lain di Sekolah Al-Jarjaawi, akhir Mei 2024. Saat itu, pesawat tempur Israel membombardir tenda-tenda pengungsi yang berdiri di halaman sekolah. Orang-orang hangus terbakar hidup-hidup, sementara dunia menyaksikan dalam diam.

Di antara kobaran api, seorang anak perempuan berusia lima tahun, Ward Asy-Syeikh Khalil, terlihat berlari di antara jasad keluarganya yang telah hangus.

Nur bertanya lirih, “Apa dosa anak ini hingga ia harus berkelana sendirian dengan perut kosong, di tengah bau darah dan tubuh-tubuh yang bergelimpangan? Bagaimana ia akan menceritakan bencana terbesar dalam hidupnya kepada dunia? Siapa yang akan peduli bahwa seluruh keluarganya dibakar hidup-hidup, dalam keadaan lapar dan tak bersalah?”

Mengajar di Tengah Abu dan Arang

Nur mengenang masa ketika ia menjadi relawan di Sekolah Al-Nashr, mengajar bahasa Inggris dan memberikan sesi dukungan psikologis bagi anak-anak.

“Mereka adalah anak-anak yang paling terpinggirkan di Gaza. Tak ada yang mendengarkan mereka. Mereka tumbuh dalam antrean bantuan makanan, mencari kayu bakar untuk memasak, atau menanti seteguk air,” tulisnya.

Suatu hari, ia bertanya kepada para siswa kecil itu tentang cita-cita mereka.

“Ayah saya ingin jadi insinyur,” pikir Nur akan mendengar jawaban semacam itu. Namun yang ia dapat justru menyayat hati.

Ayah berkata, “Kalau aku besar nanti, aku mau makan nasi dengan banyak daging.”

Jawaban itu menghancurkan hati Nur. “Bukan salah mereka jika mimpi terbesar mereka hanya ingin makan kenyang,” tulisnya.

Teror yang Menghancurkan SeketikaPada 4 Agustus 2024, selepas mengajar, Nur keluar menuju halaman sekolah sambil mengingat lirik lagu Balygh Hamdi. Ia melihat murid-muridnya bermain di taman, lalu memanggil mereka: “Ayo, pelajaran sudah selesai.”

Anak-anak memohon, “Tolong, Bu Guru, biarkan kami bermain sebentar lagi.”

Lima menit kemudian, roket menghantam bangunan di samping taman. Suaranya masih menggema di telinga Nur hingga kini.

Dalam sekejap, asap tebal menyelimuti halaman. Ia tak bisa melihat apa pun. Sebagian tubuh mungil anak-anak itu beterbangan di udara. Beberapa selamat karena kebetulan pulang lebih awal.

“Wajahku pucat. Kakiku gemetar. Jiwaku runtuh,” kata Nur.

Ia ditolong pamannya dan dalam perjalanan ke rumah mereka singgah di rumah sakit. Di sana, mereka menjemput beberapa korban luka, termasuk putri seorang perawat yang juga menjadi korban serangan.

Bertanya kepada Takdir

Dua bulan setelah tragedi itu, Nur kembali ke lokasi sekolah. Ia masih tak percaya, hanya berjarak 600 meter dari titik jatuhnya roket, ia selamat.

“Kamu dekat sekali dari ledakan, tapi masih hidup. Itu mukjizat,” kata kepala sekolah padanya.

Kini Nur hanya bisa bertanya dalam hati, Apakah aku selamat hanya agar bisa menceritakan kisah ini kepada dunia?Ia teringat salah satu muridnya, Nuruddin Maqdad, yang kehilangan seluruh keluarganya dalam pemboman sekolah.

Nuruddin sempat keluar sebentar membeli makanan. Ketika ia kembali, tak ada seorang pun yang menyambutnya. Keluarganya telah syahid dalam keadaan makan malam terakhir mereka.

“Dulu ibunya berkata padaku, ‘Nuruddin itu keras kepala, tapi anaknya cerdas.’ Perang telah mengubahnya.”

Kini, Nuruddin menghabiskan hari-harinya memeluk makam ayah, ibu, dan saudara-saudaranya.

Apa yang tersisa untuknya?Apa yang bisa menyembuhkan luka sedalam itu?Perang telah merampas segalanya. Ia kini sendiri di dunia.

Sumber: Mondoweiss

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here