Saat rakyat Gaza terus berguguran karena kelaparan dan bombardir tanpa henti, Mahkamah Internasional (ICJ) justru terkesan lamban dan tak tergesa mengadili dugaan genosida yang dilakukan Israel. Padahal, gelombang akademisi, pakar hukum, dan politisi dunia sudah terang-terangan menyebut: ini adalah genosida.
The Guardian melaporkan, kecil kemungkinan ICJ akan mengeluarkan putusan resmi tentang apakah Israel melakukan genosida sebelum akhir 2027, itu pun jika semuanya berjalan lancar. Keterlambatan ini memicu keprihatinan luas, sebab dunia sedang menyaksikan bencana kemanusiaan yang terus memburuk, sementara keadilan tetap tertahan di meja prosedur.
Israel awalnya dijadwalkan menjawab gugatan genosida yang diajukan Afrika Selatan pada Juli 2024. Namun, ICJ memberikan tambahan waktu enam bulan setelah Israel beralasan bahwa mereka butuh lebih banyak waktu karena kompleksitas bukti. Akibatnya, Israel baru akan menyampaikan pembelaannya pada Januari 2025. Padahal, tim hukum Afrika Selatan sudah menegaskan bahwa tidak ada satu pun alasan yang sah untuk menunda proses ini di tengah situasi darurat yang terjadi di Gaza.
Juliet MacIntyre, pakar hukum dari University of South Australia, menyebut ICJ terlalu berhati-hati karena tekanan politik global. “Mereka tak ingin dicap mengabaikan hak-hak prosedural Israel,” katanya. Tapi sikap berhati-hati ini mengorbankan korban-korban nyata yang terus jatuh setiap hari.
Sejak berdiri pada 1945, ICJ memang dikenal lamban dan penuh perhitungan. Bahkan setelah Israel menyampaikan argumen pada awal 2025, setiap pihak masih diberi waktu enam bulan tambahan untuk menanggapi satu sama lain. Proses ini berarti setidaknya baru akan ada sidang lanjutan pada awal 2027—dan jika tidak ada gangguan lain, vonis baru bisa keluar akhir tahun itu. Bisa jadi lebih lama.
Ironisnya, ICJ sejak Januari 2024 sebenarnya sudah mengakui bahwa tuduhan genosida terhadap Israel “masuk akal”, dan bahwa situasi di Gaza sangat mungkin memburuk drastis sebelum vonis akhir dijatuhkan. ICJ bahkan telah memerintahkan Israel menghentikan serangan ke Rafah, membuka akses bantuan, dan mencegah tindakan genosida.
Namun, Israel mengabaikan hampir semua instruksi tersebut. Mereka bahkan menyebut tuduhan genosida sebagai “fitnah keji.” Afrika Selatan juga belum mengajukan langkah hukum tambahan, kemungkinan karena tekanan keras dari Amerika Serikat. Bahkan mantan Presiden Donald Trump telah memotong bantuan ke Afrika Selatan karena gugatan ini, sambil menyebar narasi tidak berdasar tentang diskriminasi terhadap warga kulit putih di negara itu.
Sebagian pengamat khawatir bahwa fokus berlebihan pada label “genosida” justru bisa menjadi pengalih perhatian berbahaya. Standar pembuktian ICJ sangat tinggi, harus ada bukti kuat bahwa pembantaian dilakukan dengan niat sengaja untuk memusnahkan suatu kelompok. Ini celah yang sering dipakai untuk menunda tindakan internasional.
Padahal, menurut banyak ahli hukum, tindakan Israel di Gaza bahkan melampaui standar tinggi itu. Namun jika dunia terus menunggu vonis resmi, yang ada justru ruang bagi kejahatan terhadap kemanusiaan terus berlangsung tanpa dihentikan.