Di tengah blokade ketat Israel sejak perang dimulai, penderitaan di Gaza mencapai titik paling mengerikan. Tak sekadar deru bom, kini warga Gaza (terutama anak-anak) menghadapi kematian yang lebih senyap: kelaparan. Tubuh-tubuh kecil mereka mengering, tinggal tulang dan kulit, dan dunia masih gamang bersuara.
Dalam laporan investigatif yang disertai video dan foto memilukan, Washington Post menggambarkan wajah-wajah pilu para ibu yang tak lagi mampu memberi makan anaknya. Anak-anak tampak seperti kerangka hidup, menunggu sebutir roti yang tak pernah tiba.
Tak hanya menyentuh sisi emosional, laporan itu juga menguraikan kerusakan medis akibat kelaparan ekstrem: tubuh manusia yang kehabisan energi mulai “memakan dirinya sendiri”, dari cadangan lemak, lalu otot, dan akhirnya organ vital satu per satu berhenti bekerja. Pada anak-anak, proses ini terjadi lebih cepat. Otot menyusut, suhu tubuh tak terkendali, kulit memucat, gusi berdarah, dan sistem kekebalan hancur, membuat mereka tak mampu melawan penyakit ringan sekalipun.
UNICEF mencatat 80% korban kelaparan adalah anak-anak. Dalam dua pekan terakhir Juli saja, 5.000 anak dirawat karena malnutrisi akut. Tapi yang lebih mencengangkan: setidaknya satu juta dari dua juta penduduk Gaza kini hidup tanpa akses makanan yang layak. Sementara sepertiga populasi tak makan selama berhari-hari.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ini sebagai “penjagalan massal buatan manusia.” Bahkan Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menegaskan, “Tidak ada kata lain yang lebih tepat selain kelaparan kolektif yang disengaja.”
Yang lebih tragis, lebih dari 6.000 truk bantuan penuh makanan dan air tertahan di perbatasan, karena Israel menutup akses masuknya. Meski seorang pejabat militer Israel menyalahkan PBB dan mengklaim bahwa perbatasan dibuka, juru bicara PBB Stéphane Dujarric menegaskan bahwa Israel sepenuhnya mengendalikan apa yang masuk ke Gaza, baik jumlah maupun jenisnya.
Israel boleh saja membanggakan bantuan udara, tapi kenyataannya, satu pengiriman udara bahkan tak sebanding dengan muatan satu truk bantuan. Bahkan, mereka yang menanti bantuan dari langit kerap justru meregang nyawa karena serangan lanjutan atau salah sasaran.
Kelaparan ini, kata pakar genosida Alex de Waal, berbeda dari pengeboman. “Kelaparan tidak berhenti saat senjata dibungkam. Ini adalah pembantaian perlahan, bahkan setelah perang berakhir.”