Tak ada baju baru yang membuat anak-anak berseri. Tak ada hidangan hangat yang dikumpulkan bersama keluarga. Idul Adha tahun ini hadir di Gaza dengan wajah yang muram: dibalut lapar, dibayang-bayangi ketakutan, dan diselimuti pengungsian.
Sejak Israel kembali melanjutkan agresi brutalnya pada Maret lalu, mayoritas warga Gaza hidup tanpa tempat tinggal yang layak, terjebak dalam kelaparan akibat blokade penuh atas akses bantuan dan logistik. Mereka berpindah-pindah, bukan untuk merayakan, melainkan untuk bertahan dari maut yang terus mengincar.
Idul Adha Tanpa Mimpi
Ahmad al-Ghalbān (16 tahun) menyambut hari raya tahun ini di atas kursi roda, tanpa kedua kakinya, tanpa saudara kembarnya Muhammad, dan tanpa harapan. Sebelum serangan yang merenggut semuanya, Ahmad adalah atlet senam trampolin profesional.
Idul Adha tahun lalu, ia dan saudaranya tampil dalam festival akrobatik untuk menghibur anak-anak. Kini, satu di antara mereka ada di liang lahat, satunya lagi duduk diam di tenda pengungsian barat Gaza, dihimpit dua luka yang tak tersembuhkan: kehilangan kaki dan kehilangan jiwa yang ia sebut saudara.
“Dulu kami tampil bersama dan membawa senyum di wajah anak-anak,” kata Ahmad kepada Al Jazeera Net.
“Sekarang aku hanya punya ingatan. Aku kehilangan mimpiku, kehilangan kakakku, dan kehilangan diriku.”
Sang ibu, Amnah al-Ghalbān, menyeka air matanya sambil menambahkan, “Dulu mereka bintang di kampung kami di Beit Lahiya. Kini, aku kehilangan anakku. Dan anakku yang tersisa kehilangan segalanya.”

Idul Adha Tanpa Makanan
Di depan tenda reyotnya, Umm Yusuf duduk memeluk kantong plastik berisi roti kering yang telah dijemur berhari-hari. Itulah satu-satunya yang bisa ia berikan kepada anak-anaknya di hari raya ini.
“Tidak ada apa pun yang menunjukkan ini hari raya,” ujarnya dengan getir.
“Kami tinggal berpindah-pindah setiap dua hari, membawa sisa barang, lalu disuruh mengungsi lagi karena dikatakan ‘ini zona perang’.”
Sambil mencuil sepotong roti dan mencelupkannya dalam air untuk diberikan ke anaknya, ia bertanya dengan suara getir, “Di mana letak hari raya kalau aku tak bisa memberi makan anak-anakku? Ini bukan lebaran. Ini perjuangan untuk hidup.”
Dia melanjutkan dengan nada gemetar, “Anakku terus berteriak tiap malam: ‘Mama… roket!’ sejak sebuah misil jatuh tak jauh dari tenda kami.”
Rasa aman? Ia menjawab dengan tegas: “Tidak. Sama sekali tidak. Peluru bisa jatuh kapan saja. Tetangga saya tertembus pecahan bom saat berada di dalam tenda.”

Idul Adha Tanpa Wajah Bahagia
Bagi Maisoon Hallas, Idul Adha biasanya dimulai sejak awal Dzulhijjah, dengan puasa dan persiapan keperluan anak-anak. Namun kini ia menghabiskan hari-hari di pusat pengungsian, dihimpit rasa lapar, cemas, dan trauma.
“Bagaimana mau merayakan lebaran kalau kami hidup dalam kelaparan dan horor di tenda-tenda sobek?” katanya dari salah satu pusat evakuasi di Gaza barat.
“Dulu, aku sibuk menyiapkan baju baru dan kue untuk anak-anakku. Sekarang, tidak ada itu semua.”
Dua hari sebelum Idul Adha, ia sempat mendatangi pasar. “Sepi. Tak ada daging, tak ada permen, tak ada orang membeli baju. Hanya wajah-wajah pucat yang kelaparan.”
Lebih dari sekadar kehilangan materi, Maisoon mengaku dirundung rasa takut yang dalam.
“Aku takut kehilangan anak-anakku seperti aku kehilangan banyak kerabat. Dan aku takut kami akan dipaksa mengungsi lagi ke selatan.”

Idul Adha yang biasanya menjadi hari persaudaraan dan sukacita, tahun ini menjadi saksi penderitaan panjang rakyat Gaza. Mereka tidak hanya kehilangan rumah dan keluarga, tetapi juga kehilangan rasa aman, kehilangan kenangan, dan kehilangan ruang untuk berharap.
Namun dari balik puing-puing dan debu pengungsian, tetap ada suara lirih yang terus bergema: “Alhamdulillah ‘ala kulli haal.”
Sumber: Al Jazeera