“Kalau aku mati, aku ingin kematian yang bergema. Aku tak ingin jadi sekadar kabar kilat atau angka dalam laporan. Aku ingin dunia mendengar, aku ingin jejak yang abadi, gambar yang tak pernah lekang oleh waktu atau tempat.”
— Fatima Hassouna, beberapa pekan sebelum syahid
Kata-kata itu ditulis Fatima Hassouna di Facebook dan Instagram. Tak berselang lama, ia benar-benar syahid—dibunuh oleh serangan udara brutal Israel yang menghantam rumah keluarganya di Gaza Utara. Tapi seperti doanya, kematiannya tidak sunyi. Ia menjadi suara abadi dari Gaza yang terbakar.
Fatima adalah seorang fotografer muda Palestina yang berdiri tegak membawa kameranya di tengah reruntuhan, mendokumentasikan setiap luka, setiap pelukan terakhir, setiap harapan yang masih tersisa. Ia adalah tokoh utama dalam film dokumenter Put Your Soul in Your Palm and Walk, yang akan diputar bulan depan di ajang bergengsi Festival Film Cannes, di bawah naungan ACID (Association du Cinéma Indépendant pour sa Diffusion).
Yang tak banyak orang tahu, Fatima sebenarnya sedang bersiap menyambut hari pernikahannya. Tapi ia memilih tetap memegang kameranya—meski rumahnya hancur, meski ia terusir dan hidup berpindah-pindah. Hingga akhirnya, ia syahid dalam serangan keji di Jalan An-Naq, Kota Gaza.
“Kami duduk bersama ketika dua rudal menghantam. Salah satunya mengenai ruang tamu. Rumah runtuh di atas kami,” kisah Hamzah Hassouna, sepupunya, kepada CNN.
Dari Puing-Puing Gaza, Ia Ciptakan Sejarah yang Tak Bisa Dibungkam
Fatima kehilangan 11 anggota keluarganya dalam satu bulan—Januari 2024. Tapi ia tak menyerah. Ia terus mendokumentasikan kehidupan di Gaza, dari balik lensa yang tak pernah berpaling. Foto-fotonya bukan hanya gambar; ia menangkap keteguhan para ibu, tangis sunyi anak-anak, dan keyakinan para ayah yang memilih bertahan di tanah kelahiran mereka.
Sutradara Iran, Sepideh Farsi, yang menggarap film dokumenter tentang Fatima, menggambarkannya sebagai pribadi yang “penuh cahaya, dengan senyum tulus dan semangat hidup yang luar biasa.” Keduanya bekerja bersama selama lebih dari setahun. Bahkan sehari sebelum Fatima gugur, mereka sempat berbincang. Farsi hendak memberinya kabar bahagia bahwa film mereka akan tayang di Cannes.
“Saat dengar kabar dia wafat, aku tak percaya. Aku ingin film ini jadi penghormatan terakhir untuk Fatima dan perjuangannya,” kata Farsi.
Ia mengaku, diam-diam, selalu khawatir Fatima akan menjadi target karena ia jurnalis foto yang berani dan dikenal luas. Tapi Fatima sendiri tak pernah menunjukkan ketakutan. “Kalau dia tidak takut, siapa aku untuk takut?” ujar Farsi lirih.
Ia Abadi di Lensa dan Doa Rakyatnya
Meninggalnya Fatima Hassouna bukan sekadar kehilangan. Itu adalah serangan terhadap kebenaran, kata Pusat Perlindungan Jurnalis Palestina. Serangan udara yang membunuhnya disebut sebagai “kejahatan perang” dan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Lewat kamera dan akun media sosialnya yang diikuti puluhan ribu orang, Fatima telah membuka mata dunia tentang kenyataan hidup di bawah penjajahan dan pengepungan. Foto terakhir yang ia unggah di Facebook adalah potret para nelayan Gaza di tepi pantai, diiringi puisi yang ia tulis sendiri:
“Dari sinilah engkau mengenal kota ini. Engkau memasukinya, tapi tak pernah benar-benar pergi. Karena kau tak akan mampu meninggalkannya.”
Dan benar. Fatima memang tak pernah meninggalkan Gaza—jiwanya tertambat di tanah itu hingga detik terakhir. Tapi lensa yang ia tinggalkan, terus hidup. Tak bisa dibungkam. Tak akan pernah mati.