Kebocoran sebuah dokumen internal rahasia milik militer Israel kembali memantik pertanyaan besar: apa arti kegagalan operasi “Arabot Gideon” di Gaza? Operasi yang semula digadang-gadang mampu menundukkan Hamas dan memulangkan tawanan, ternyata justru berakhir tanpa capaian nyata.

Menurut analis militer Ahmad al-Sharifi, dampak bocornya dokumen ini bukan sekadar mengguncang moral tentara di lapangan, tetapi juga menyingkap persoalan lebih serius: lemahnya koordinasi antara tujuan politik dengan realitas militer di medan tempur. “Ada jurang lebar antara apa yang diputuskan secara politis dan apa yang bisa diwujudkan pasukan di lapangan,” ujarnya.

Al-Sharifi memperingatkan, ketidaksesuaian itu akan memicu kelambatan operasi di Gaza. Apa yang digariskan oleh elite politik Israel tidak pernah benar-benar disesuaikan dengan kondisi riil pertempuran. Misalnya, lima syarat yang ditetapkan Israel (mulai dari pelucutan senjata Hamas, kontrol keamanan penuh, hingga pengaturan ulang kependudukan di selatan Gaza) semua membutuhkan instrumen yang jelas, yang hingga kini tidak tersedia.

Sepuluh hari lalu, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kembali menegaskan komitmen pada syarat-syarat tersebut: pelucutan senjata Hamas, pengembalian tawanan, kontrol keamanan Israel, dan pemerintahan sipil alternatif bagi Gaza. Namun bagi Sharifi, pernyataan itu justru menegaskan kontradiksi yang sudah lama menganga antara kubu militer dan politik di Israel.

“Militer hanya melihat Gaza sebagai target utama. Tapi politisi ingin sesuatu yang lebih luas: skenario perang regional. Hasilnya? Justru kegagalan di Gaza,” tegasnya.

Meski begitu, Netanyahu tetap membangun narasi politik dengan mengandalkan dukungan penuh dari Washington. Israel digadang sebagai “pilar utama proyek Timur Tengah baru” versi Amerika Serikat. Di sinilah paradoksnya: logika politik yang diperkuat kepentingan global bertabrakan dengan kalkulasi militer yang lebih realistis.

Bahkan, rencana lanjutan bertajuk “Arabot Gideon 2” yang diarahkan untuk menduduki Kota Gaza, menurut Sharifi, bukanlah skenario militer murni, melainkan hasil kesepakatan politik Amerika–Israel.

Media Israel, Channel 12, mengungkapkan salah satu faktor utama kegagalan operasi sebelumnya adalah perencanaan yang serampangan. Operasi itu, kata laporan tersebut, sama sekali tidak cocok menghadapi pola perang Hamas. Israel, menurutnya, “melakukan semua kesalahan yang mungkin,” termasuk tidak menetapkan batas waktu operasi.

Padahal, sejak awal Mei 2025, kabinet keamanan Israel (kabinett) sudah mengesahkan rencana tiga tahap Operasi “Arabot Gideon” dengan ambisi meraih kemenangan militer sekaligus politik. Lima faktor tekanan disiapkan, dari pengerahan puluhan ribu pasukan cadangan hingga upaya memaksa Hamas menyerah. Namun hasil di lapangan justru menunjukkan yang sebaliknya: kegagalan dalam mengubah keseimbangan strategis di Gaza.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here