Spirit of Aqsa- Di balik tembok pemisah di tengah kota Abu Dis, timur Al-Quds, aktivitas warga tak pernah surut di Pusat Medis Abu Dis yang berafiliasi dengan Rumah Sakit Al-Maqasid di Gunung Zaitun, Al-Quds.

Tembok beton yang dibangun oleh Israel pada tahun 2003 memisahkan pusat medis ini dari rumah sakit induknya, juga pos pemeriksaan militer “Zayem” yang sering kali menjadi saksi bisu kematian banyak pasien sebelum mencapai rumah sakit di Al-Quds. Warga setempat menyebut pusat medis ini sebagai “Pusat Darurat.”

Saat berkunjung ke pusat tersebut, terlihat puluhan pasien mengantri di depan klinik wanita, anak-anak, dan umum. Namun, kesakitan fisik dan tekanan psikologis membuat mereka enggan berbicara tentang penderitaan dan kondisi kesehatan di wilayah timur Al-Quds yang menurut seorang dokter pusat medis kini semakin memburuk dengan semakin ketatnya prosedur evakuasi pasien.

Keadaan Darurat

Pertemuan dengan Direktur Pusat, Dr. Dawood Ayad, tidak mudah karena ia harus segera mendampingi seorang wanita hamil yang sedang mengalami kontraksi dini menuju Rumah Sakit Al-Maqasid. Setelah kembali, Dr. Ayad, spesialis perawatan intensif bayi prematur, segera melanjutkan perawatan pasien lainnya.

Dr. Ayad, di kantornya, berbicara tentang situasi harian yang kacau akibat sulitnya mengoordinasikan evakuasi pasien dari pusat medis ke rumah sakit di Al-Quds. “Seorang wanita hamil dengan kontraksi dini perlu dipindahkan karena fasilitas kami tidak memadai untuk bayi prematur, dan itu memerlukan koordinasi dengan pihak militer Israel,” ujarnya.

Beruntung, pihak rumah sakit berhasil mengatur evakuasi dengan cepat, dan Dr. Ayad harus mendampingi dalam ambulans untuk memastikan ibu dan bayi kembarnya selamat sampai di rumah sakit.

Tugas Berat

Tantangan serupa dihadapi setiap hari di pusat medis yang berdiri sejak tahun 1965 sebagai klinik kecil yang didirikan oleh penduduk Abu Dis. Kini, pusat medis ini melayani masyarakat dari berbagai desa di timur Yerusalem dan komunitas Badui di sekitar Al-Azariya dan Yerikho.

Menurut Dr. Ayad, pusat ini berfungsi seperti rumah sakit kecil dengan staf dari Rumah Sakit Al-Maqasid. Mereka membantu mendiagnosa, mengatur operasi, dan merawat pasien baik di pusat medis maupun di rumah sakit.

Namun, tantangan terbesar adalah krisis keuangan yang juga mempengaruhi Rumah Sakit Al-Maqasid, meskipun ada upaya untuk mengembangkan pusat medis ini. Kedekatan geografis dengan Yerusalem tidak mengurangi masalah, karena pasien harus melalui pos pemeriksaan militer dan memerlukan izin khusus untuk memasuki kota.

Kematian di Pos Pemeriksaan

Dr. Abdullah Abu Hilal, yang telah bekerja di pusat medis selama 22 tahun, menambahkan bahwa sejak pembangunan tembok pemisah pada tahun 2003, situasi semakin memburuk. “Kami pernah menghadapi pasien yang meninggal karena tidak bisa segera mencapai rumah sakit, termasuk seorang penderita diabetes yang dipukul tentara Israel hingga tewas,” ujarnya.

Pusat medis ini juga sering menerima korban luka akibat serangan tentara Israel, dan sering kali, pasien meninggal karena tertundanya evakuasi akibat prosedur militer yang berbelit.

Kompleksitas di Tengah Perang

Setelah perang di Gaza, prosedur koordinasi untuk evakuasi pasien menjadi lebih rumit. Dr. Abu Hilal mengatakan, selama bulan pertama perang, wilayah ini sepenuhnya tertutup, membuat lebih dari 150.000 warga Palestina di timur Yerusalem tanpa akses ke rumah sakit.

“Kami meminta bantuan Palang Merah, PBB, dan parlemen internasional untuk membantu evakuasi pasien kami. Meskipun koordinasi mulai berjalan, tetap saja pasien tergantung pada kebijakan tentara di pos pemeriksaan,” kata Dr. Abu Hilal.

Kesulitan ini menekankan kebutuhan mendesak untuk membangun rumah sakit di wilayah timur Yerusalem agar warga tidak lagi terjebak dalam situasi kritis tanpa akses medis yang memadai.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here