Spirit of Aqsa-Demonstrasi menentang pembantaian di Jalur Gaza terus meningkat di kampus-kampus di Amerika Serikat (AS). Protes yang meningkat ini menyusul penangkapan massal terhadap para demonstran di beberapa universitas di Pantai Timur dalam beberapa hari terakhir.

Banyak pula pedemo yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap Amerika Serikat, yang secara historis merupakan sekutu terpenting Israel, terhadap jalannya perang dengan Hamas.

Sebagaimana diberitakan Reuters pada Kamis (25/4/2024), protes pro-Palestina telah terjadi setelah Presiden Joe Biden yang menyatakan dirinya sebagai “Zionis”, selama berbulan-bulan.

Di universitas, protes baru-baru ini berkembang menjadi perkemahan yang menarik mahasiswa dan dosen dari berbagai latar belakang, termasuk agama Yahudi dan Muslim, yang menjadi tempat pengajaran, doa antaragama, dan pertunjukan musik.

Protes besar di jalanan Brooklyn mencapai kebuntuan pada hari Selasa kemarin ketika polisi New York mulai menangkap orang-orang yang tidak tertib saat berdemo, dan menahan mereka yang menolak untuk membubarkan diri.

Dewan Hubungan Amerika-Islam mengkritik penggunaan anggota polisi untuk membungkam perbedaan pendapat, dan mengatakan bahwa hal itu merusak kebebasan akademis.

“Begitu juga dengan pencemaran nama baik dan membahayakan mahasiswa Yahudi, Muslim dan Palestina yang didasarkan pada komentar-komentar yang menghasut dan mencurigakan yang dibuat oleh beberapa orang tak dikenal dan bertopeng di luar kampus,” terang Afaf Nasher, direktur eksekutif CAIR di New York dalam sebuah pernyataan.

Kritik terhadap protes tersebut, termasuk anggota Kongres AS terkemuka dari Partai Republik, telah meningkatkan tuduhan antisemitisme dan pelecehan oleh setidaknya beberapa pengunjuk rasa.

Para pendukung hak-hak sipil, termasuk ACLU, telah menyuarakan keprihatinan atas kebebasan berpendapat atas penangkapan tersebut. Terjadi perbedaan pendapat hingga memanas antara demonstran pro-Palestina dan pro-Israel, khususnya di jalan-jalan umum di sekitar Kolombia.

Akibatnya, anggota Kongres dari Partai Republik pada hari Selasa menuntut agar Biden berbuat lebih banyak untuk melindungi pelajar Yahudi. Beberapa pengunjuk rasa kampus yang dihubungi Reuters mengaitkan insiden di luar kampus dengan provokator jahat yang mencoba membajak pesan protes.

“Tidak ada universitas yang tersisa di Gaza. Jadi kami memilih untuk merebut kembali universitas kami untuk rakyat Palestina,” kata Soph Askanase, seorang mahasiswa Yahudi Columbia yang ditangkap dan diskors karena melakukan protes.

“Antisemitisme, Islamofobia, dan rasisme, khususnya rasisme terhadap orang Arab dan Palestina, semuanya berasal dari satu kesatuan,” ungkap dia. Mahasiswa lain menyalahkan universitas karena gagal melindungi hak mereka untuk melakukan protes atau membela hak asasi manusia.

“Sebagai seorang mahasiswa Palestina, saya juga merasa tidak aman selama enam bulan terakhir, dan hal itu merupakan akibat langsung dari pernyataan sepihak dan kelambanan tindakan Columbia,” tutur Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa Palestina di Columbia.

Mahasiswa di Universitas California, Berkeley, sebuah kampus yang terkenal dengan aktivisme mahasiswanya pada tahun 1960-an, mendirikan tenda sebagai bentuk solidaritas dengan pengunjuk rasa di kampus lain.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here