Pemerintah Israel kembali menyalakan bara kontroversi lama di Tepi Barat. Pada Rabu (20/8/2025), kabinet Netanyahu menyetujui rencana besar pembangunan sekitar 3.400 unit permukiman baru dalam kerangka proyek “E1”. Proyek yang pertama kali digagas sejak 1990-an itu dipimpin Menteri Keuangan sayap kanan ekstrem, Bezalel Smotrich, dengan tujuan memperluas blok permukiman Ma’ale Adumim dan menghubungkannya ke Yerusalem.
Konsekuensinya jelas: proyek ini akan memutus Tepi Barat menjadi dua bagian, memisahkan utara dari selatan, dan pada praktiknya menutup pintu bagi terbentuknya negara Palestina yang berdaulat dan terhubung secara geografis. Peringatan komunitas internasional diabaikan; Israel melaju dengan agenda yang semakin terang: meniadakan Palestina dari peta politik.
Jejak Awal: Dari Perang Enam Hari ke Koloni Pertama
Akar dari rencana ini kembali ke Perang Enam Hari 1967, ketika Israel merebut seluruh Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. PBB mendefinisikan wilayah itu sebagai “wilayah Palestina yang diduduki.” Namun sejak September tahun itu juga, pemerintah Israel mulai membangun permukiman pertama di sana—sebuah langkah yang terus berlanjut di bawah setiap pemerintahan Israel, meski berulang kali dikecam dunia.
Dua dekade kemudian, frustrasi rakyat Palestina meledak menjadi Intifada Pertama (1987–1993), dikenal sebagai “Intifada Batu,” yang menandai perlawanan massal terhadap okupasi dan ekspansi permukiman.
Perjanjian Oslo dan Realitas yang Terkubur
Kesepakatan Oslo 1993 membawa harapan akan otonomi Palestina terbatas. Dua tahun berikutnya, Oslo II membagi Tepi Barat menjadi tiga zona:
- Area A: di bawah kendali penuh Otoritas Palestina (kota-kota besar seperti Ramallah, Nablus, Bethlehem).
- Area B: kontrol sipil Palestina, keamanan campuran.
- Area C: di bawah kendali eksklusif Israel, mencakup 60% dari Tepi Barat, dan menjadi lahan utama ekspansi permukiman.
Namun alih-alih menjadi pijakan menuju negara Palestina, pembagian ini berubah menjadi justifikasi bagi Israel memperluas kendali militer dan sipil atas mayoritas tanah.
Tembok, Penyergapan, dan Pembatasan Harian
Pada 2002, di tengah Intifada Kedua, Israel membangun “Tembok Pemisah.” Diklaim sebagai penghalang terorisme, tembok itu justru mencaplok lahan Palestina dan menciptakan “batas de facto” yang menyalahi hukum internasional.
Sejak saat itu, operasi militer Israel makin sering masuk ke area yang seharusnya di bawah Otoritas Palestina. Di lapangan, ratusan pos pemeriksaan militer membatasi mobilitas tiga juta penduduk Palestina di Tepi Barat, menjadikan perjalanan sehari-hari sebagai bentuk hukuman kolektif.
Proyek Aneksasi dan Tekanan Politik
Ambisi aneksasi bukan baru. Pada 2020, di bawah naungan rencana perdamaian Donald Trump, Netanyahu menetapkan 1 Juli 2020 sebagai tanggal untuk mencaplok Lembah Yordan. Tekanan internasional dan kesepakatan normalisasi dengan negara-negara Arab (“Abraham Accords”) menunda rencana itu, tapi tidak pernah benar-benar membatalkannya.
Operasi “Tembok Besi”: Wajah Baru Penjajahan
Ketika perang Gaza 2023 pecah, eskalasi meluas ke Tepi Barat. Pada Januari 2025, militer Israel melancarkan operasi besar bernama “Tembok Besi”, mengerahkan tank untuk pertama kalinya sejak Intifada Kedua. Akibatnya, lebih dari 40.000 warga Palestina mengungsi.
Beberapa bulan kemudian, pemerintah Israel terus mempercepat proyek kolonisasi: 22 permukiman baru diumumkan pada Mei, lalu pada Agustus diresmikan megaproyek “E1”.
Proyek E1: Mematikan Gagasan Negara Palestina
Dengan menghubungkan Ma’ale Adumim ke Yerusalem dan memotong Tepi Barat menjadi dua, E1 dipandang sebagai pukulan terakhir terhadap kemungkinan negara Palestina yang utuh. Smotrich terang-terangan menyatakan bahwa penghapusan Palestina bukan soal retorika, tapi langkah nyata.
Kini, sekitar 500 ribu pemukim Israel hidup berdampingan dengan 3 juta warga Palestina di Tepi Barat, dalam sistem yang oleh banyak pengamat digambarkan sebagai apartheid modern.
Analisis: Strategi Jangka Panjang Israel
Dari 1967 hingga 2025, pola yang terlihat konsisten: setiap momentum politik (baik perang, intifada, maupun negosiasi) digunakan Israel untuk memperluas permukiman. Proyek “E1” bukan sekadar pembangunan, melainkan strategi geopolitik untuk memastikan Tepi Barat tidak pernah menjadi basis negara Palestina yang berdaulat.
Meski dunia mengecam, Israel tahu bahwa waktu berpihak padanya: fakta lapangan yang tercipta dari permukiman seringkali lebih kuat dari resolusi internasional.