Spirit of Aqsa, Jalur Gaza- Basma Adwan duduk di depan tungku kayu buatan sang suami, Abd Rabbo, di rumah mereka di kota Rafah, selatan Jalur Gaza. Tungku kayu itu merupakan alternatif yang dibuat Abd Rabbo untuk mengakali krisis bahan bakar dan gas untuk memasak.
Kompor yang terbuat dari setengah tong (wadah besi) dan kompor tradisional menjadi alternatif yang digunakan mayoritas masyarakat Gaza saat ini. Mereka tidak kehilangan akal untuk tetap bertahan di Tanah Gaza.
Hari Basma dimulai dengan sinar pertama hari itu. Usai salat subuh, suaminya menyalakan potongan kayu bakar dari pohon zaitun dan jeruk di bawah kompor, siap menyiapkan sarapan untuk sekitar 25 penyintas dari utara Jalur Gaza, seperti halnya mayoritas rumah di bagian selatan.
Basma dan suaminya adalah kepala sekolah. Pembantaian di Jalur Gaza membuat mereka kehilangan pekerjaan. Sekitar 215 sekolah telah diubah menjadi pusat penyintas, yang sebagian besar berafiliasi dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Mayoritas rumah dan sekitar 128 pusat penyintas di Kota Rafah serta Khan Yunis, Gaza Selatan dipenuhi ratusan ribu penyintas.
Abd Rabbo mendaur ulang tong bekas menjadi kompor. Dia memanfaatkan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk kompor tersebut dan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti memasak dan sekadar minum the hangat. Kompor itu juga digunakan untuk menyediakan roti.
Ide Atasi Krisis Air
Para penyintas juga tak kehilangan akal untuk mengatasi krisis air bersih. Misalnya Abu Ayoub. Dia memompa air asin di sebuah sumur dekat untuk didesalinasi. Dia memanfaatkan sebuah truk sebagai mesin agar proses pengubahan air asin menjadi tawar bisa dilakukn.
Asisten Ketua Komite Darurat di sektor ini, Insinyur Zuhdi Al-Ghariz, mengatakan, lebih dari 90% rumah kekurangan sumber air, setelah pemerintah kota berhenti memompa air dari sumur bawah tanah ke rumah warga, karena kekurangan listrik dan kehabisan bahan bakar.
Kondisi itu tak menyurutkan semangat mereka. Keluarga Abu Muhammad Al-Qar’an. Dia bisa memanfaatkan air laut untuk mandi. Pria yang tinggal di Kota Deir Al-Balah, Gaza tengah itu juga manfaatkan air laut untuk mencuci peralatan rumah dan mencuci pakaian. Itu bukan hal sulit.
“Jika mereka mampu mencegah udara dan air laut dari kami, barulah mereka bisa menjadikan Gaza sebagai penjara,” ujarnya.
Sumber: Al Jazeera