Sejak Guardian mengungkap rincian apa yang disebut Amerika sebagai “zona hijau” di bagian Gaza yang dikontrol Israel, perdebatan bergeser dari pertanyaan teknis (apakah rencana itu mungkin diterapkan) ke pertanyaan mendasar: apakah Gaza bisa dipisahkan menjadi wilayah berbeda yang dikelola internasional dan terpisah dari pengaruh perlawanan?
Pendekatan ini, meski terdengar politik, sejatinya adalah manuver keamanan: upaya AS dan Israel membentuk realitas baru pascaperang. Namun, menurut para ahli, rencana ini bertabrakan dengan struktur sosial dan kepadatan lokal Gaza, yang tidak bisa dikendalikan melalui rekayasa eksternal.
Rekayasa Politik di Atas Realitas
Rami Abu Zubida, pakar keamanan dan militer, menekankan: pembicaraan tentang “zona merah dan hijau” hanyalah “upaya rekayasa politik di atas tanah yang tidak memungkinkan”.
Rencana AS berusaha memisahkan wilayah dengan pengaruh kuat Hamas dari wilayah yang dimaksudkan menjadi “komunitas aman” bagi pengungsi di bawah pengawasan internasional dan Israel.
Namun, menurut Abu Zubida, Gaza tidak bisa dipotong-potong. Kepadatan keluarga dan kota membuat “garis hijau” atau “garis kuning” menjadi tidak realistis dan tidak stabil, sebuah kendali yang Israel gagal capai baik sebelum maupun selama perang dua tahun.
Setiap pembagian geografis tanpa penerimaan masyarakat lokal akan gagal, sebagaimana pengalaman masa lalu: dari rencana Sharon di 1970-an hingga “rencana jari-jari keamanan” dan rencana jenderal selama perang pemusnahan terbaru. Abu Zubida menekankan:
“Semua proyek ini runtuh saat bertemu rakyat yang bersikeras mempertahankan realitas mereka sendiri.”
Tantangan Regional dan Internasional
Rencana ini juga menghadapi penolakan dari Mesir, Qatar, dan Turki, yang melihat pembagian sebagai pemicu konflik baru, bukan solusi.
Di sisi lain, laporan diplomatik menyebutkan AS fokus pada pembangunan kompleks perumahan sementara di timur garis kuning, sekaligus membuka jalur bantuan lebih banyak. Langkah ini sejajar dengan kepentingan Israel karena secara praktis membagi Gaza menjadi dua bagian.
Namun, belum jelas apakah tujuan ini untuk mengamankan wilayah di bawah dalih keamanan atau mendukung proyek Israel yang lebih luas, termasuk revitalisasi pemukiman.
Realitas yang Menghadang
Rencana ini mengandalkan dua asumsi yang tidak realistis, kata Abu Zubida:
- Perlawanan akan menerima realitas pembagian wilayah.
- Warga sipil akan rela pindah ke wilayah di bawah pengawasan internasional-Israel.
Padahal, pengalaman panjang warga Gaza dengan blokade dan pengusiran menunjukkan hal sebaliknya.
Guardian menjelaskan, “zona hijau” akan menampung pengungsi dengan rumah, sekolah, dan rumah sakit sementara, tetapi laporan itu juga menyoroti hambatan serius: penolakan Mesir takut warga terdorong ke Sinai, donor enggan membiayai proyek di bawah kontrol Israel, sulit membedakan warga sipil dan pejuang, serta keberadaan pejuang di terowongan bawah Rafah.
Selain itu, pembentukan pasukan internasional untuk keamanan menemui hambatan, sementara AS ragu mengandalkan milisi lokal yang dikendalikan Israel.
Abu Zubida menegaskan: rencana ini bukan solusi, melainkan manuver politik untuk membeli waktu bagi Israel. Mengabaikan realitas perlawanan dan dukungan rakyat Gaza membuat proyek ini rapuh dan akan runtuh pada uji coba pertama di lapangan.
Kesimpulannya jelas, “Gaza, dengan struktur sosial dan urbanisasinya, tidak bisa dibagi secara geografis atau sosial. Setiap pendekatan yang mengabaikan kenyataan ini terkutuk gagal, seperti rekayasa keamanan sebelumnya di Baghdad, Kabul, dan Gaza.”










