Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (yang kini diburu Mahkamah Pidana Internasional) terus melontarkan pernyataan tentang negosiasi gencatan senjata dan pertukaran tahanan di Doha, Qatar. Namun di balik retorikanya, tersimpan agenda berbahaya: melegitimasi pendudukan militer dan memuluskan rencana pengusiran massal warga Gaza.

Netanyahu berulang kali menegaskan hanya akan menerima “kesepakatan bagus”, menolak “kesepakatan buruk”, sambil menuntut agar Gaza diperintah oleh pihak yang tidak ingin “menghancurkan Israel”.

Sementara itu, media Israel Yedioth Ahronoth mengutip sumber AS yang menyebut Presiden Donald Trump sebenarnya sudah muak dengan perang di Gaza, tapi Netanyahu berhasil “mencuri” lebih banyak waktu.

Inti negosiasi di Doha berkisar pada peta penempatan pasukan Israel di Gaza. Netanyahu memanfaatkan celah untuk mengulur waktu dan menciptakan fakta baru di lapangan. Versi peta yang diperbarui tetap memberi Israel kendali penuh atas jalur vital seperti Jalan Salahuddin, urat nadi yang menghubungkan utara dan selatan Gaza, serta sejumlah wilayah penting lain.

Meski seolah “mengurangi” wilayah pendudukan dari 36% menjadi 28% selama masa jeda, kenyataannya Israel tetap mempertahankan kontrol strategis atas sebagian besar Gaza, terutama di utara dan timur.

Menurut analis politik Said Ziyad, ucapan Netanyahu hanyalah topeng yang menyembunyikan tujuan mendirikan pemerintahan militer serta mempercepat rencana pengosongan Gaza.

Bahkan, peta terakhir memperlihatkan pasukan Israel tetap bertahan di selatan, di sepanjang perbatasan Mesir, dengan wilayah selebar 2 km, demi memperketat pengepungan.

Profesor Bilal Al-Shobaki menilai bahwa Netanyahu tidak pernah serius bicara damai. Ia hanya mengulang narasi “penahanan sementara” sambil terus menuntut pengembalian tawanan, lalu melanjutkan agresi.

Netanyahu juga khawatir tekanan AS bisa memaksa kesepakatan regional yang menutup jalannya untuk terus berkuasa.

Sebagai taktik, Netanyahu mendekatkan diri ke menteri-menteri sayap kanan ekstrem seperti Ben Gvir dan Smotrich demi mempertahankan soliditas politik dalam negeri.

Strateginya jelas: menancapkan “kaki” militer di Gaza, mendirikan kota buatan seperti “kota kemanusiaan” di Rafah, sambil memfasilitasi jalur eksodus warga Gaza secara perlahan.

Setelah hampir dua tahun perang, Netanyahu gagal menaklukkan Hamas. Kini, ia mendorong wacana “zona penyangga di selatan” sebagai prasyarat mengusir rakyat Gaza — skenario yang secara perlahan berubah dari mimpi jadi ancaman nyata.

Sikap Perlawanan

Di sisi lain, perlawanan Palestina menegaskan bahwa “waktu berarti darah”. Mereka tak mau terburu-buru menerima kesepakatan yang akan melanggengkan pendudukan Israel atau memberi ruang bagi pemerintahan militer.

Dengan taktik perlawanan elastis, mereka memilih mempertahankan medan, menekan Israel dengan kerugian terus-menerus. Sejarah menunjukkan Israel tak pernah menang dalam perang attrisi (perang jangka panjang dan menguras).

Perlawanan menegaskan tidak akan menyetujui jalur negosiasi yang tak menghentikan agresi total dan tak membersihkan Gaza dari kehadiran militer Israel. Israel ingin menjadikan negosiasi sebagai alat untuk memaksa fakta baru, bukan sebagai jalan menuju pembebasan sejati.

Komandan lapangan dan jebakan-jebakan perlawanan membuktikan bahwa impian Israel menduduki Gaza secara penuh dan membangun administrasi baru hanyalah khayalan. Namun, kebuntuan politik dan militer Israel semakin mengarah pada skenario berbahaya: pemaksaan pengusiran massal rakyat Gaza ke luar wilayah mereka.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here