Spirit of Aqsa, Palestina- Analis militer Israel di Surat Kabar Haaretz, Amos Harel, mengungkapkan, terdapat insiden terkait kelelahan setelah berminggu-minggu beraktivitas dan fenomena ketidakpatuhan terhadap disiplin tempur yang semakin meningkat di kubu militer Israel.
Maka itu, kata dia, masih terlalu dini untuk membicarakan misi militer PM Benjamin Netanyahu, yakni meruntuhkan Hamas di Jalur Gaza. itu karena pasukan Israel saat ini cuma fokus menargetkan Kamp Pengungsi Jabalia, Lingkungan Zaytoun, dan beberapa lingkungan yang dekat dengan Kota Gaza.
“Selama tiga minggu pertama operasi darat, tentara Israel tidak maju ke lingkungan di utara dan timur kota,” kata Harel dalam analisisnya di Koran Haaretz, dikutip dari Al Jazeera, Selasa (21/11).
Harel juga yakin unit militer Israel kesulitan beroperasi di daerah perkotaan yang padat dan sangat berbahaya. Hal itu bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan tembakan di antara mereka sebagai akibat dari meluasnya kebakaran besar.
“Terdapat insiden terkait kelelahan setelah berminggu-minggu beraktivitas, dan fenomena ketidakpatuhan terhadap disiplin tempur yang semakin meningkat,” kata Harel.
Strategi Tentara Teroris Israel
Harel menjelaskan, strategi tentara Israel adalah dengan perlahan-lahan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar untuk menjamin keselamatan mereka, dibandingkan dengan cepat memasuki daerah-daerah untuk melawan pejuang Palestina dengan menggunakan serangan udara dan artileri.
Selain itu, sejumlah besar pasukan sekunder dan unit logistik saat ini dikerahkan di Jalur Gaza. Hal itu menimbulkan tantangan besar dalam mempertahankan tingkat disiplin tempur di garis depan.
Harel menambahkan, tentara Israel saat ini beroperasi di wilayah besar terakhir di Jalur Gaza utara. “Namun, masih terlalu dini untuk membicarakan keruntuhan Hamas yang kemampuannya di selatan masih utuh, dan kepemimpinannya masih ada dan bersembunyi di sana,” ujarnya.
“Masih ada tujuan militer yang harus diselesaikan di Jalur Gaza utara, namun para pemimpin politik dan militer Israel harus memutuskan apakah ada terlalu banyak potensi keuntungan untuk membenarkan upaya dan risiko terhadap nyawa tentara.”