“Keluar demi sekarung tepung, pulang dalam kafan.” Itulah kisah pilu Muhammad, pemuda Gaza yang menjadi simbol generasi yang dibunuh peluru hanya karena ingin bertahan hidup.

Selama tujuh hari penuh, Malik berlari dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain di Gaza, menyisir setiap ruang jenazah, mencari jejak saudara laki-lakinya yang hilang. Saudaranya itu adalah satu dari ribuan warga Gaza yang menuju ke kawasan “Zikim” (tempat distribusi bantuan tepung) dengan harapan mengusir lapar. Tapi ia tak pernah kembali.

Pencarian panjang itu membawanya ke satu titik: beberapa jasad tak dikenal tergeletak di kamar jenazah RS Asy-Syifa. Malik membuka satu per satu penutup kain. Wajah yang dilihatnya bukan wajah yang dikenalnya, hanya tubuh rusak, hancur oleh ledakan. Yang tersisa hanya sepasang sepatu robek yang masih melekat di kaki jenazah.

“Itu sepatunya… tapi apa cukup hanya dengan sepatu untuk memastikan bahwa itu saudaraku?” kata Malik dengan suara patah.

“Bagaimana kalau aku salah kuburkan? Bagaimana kalau justru aku tinggalkan dia tanpa nama?”

Rumah-rumah Tanpa Laki-laki

Di sudut lain kamar jenazah, satu keluarga lain juga mencari. Tapi mereka langsung mengenali anak mereka dari lempengan platina di tulang pahanya, bekas cedera lama yang akhirnya menjadi identitas terakhir.

Sang ayah menutup kantong jenazah putranya, Yusuf, dengan tangan gemetar. “Dia tidak keluar demi makan, tapi keluar untuk memberi makan orang lain,” ucapnya lirih.

Sang adik menambahkan, “Yusuf tidak punya anak. Tapi dia korbankan dirinya untuk memberi makan anak-anak yatim dan para janda. Dia milik Gaza, bukan hanya milik kami.”

Yusuf dan saudara Malik adalah dua dari 15 korban yang sempat dinyatakan hilang, lalu ditemukan meninggal setelah dihantam artileri dan peluru penjajah Israel di sekitar “Golden Hall” kawasan Zikim, saat tengah mengantre bantuan makanan.

Menurut juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Basal, masih ada lebih dari 20 jenazah lain yang belum bisa dievakuasi dari lokasi karena wilayah tersebut berada di bawah pengawasan tembakan langsung Israel.

Anak-anak yang Mewarisi Kelaparan

Sejak bantuan mulai masuk melalui Karem Abu Salem dan jalur Zikim, lebih dari 435 warga Gaza gugur dan 3.250 lainnya luka-luka, dengan puluhan masih hilang, data ini dikonfirmasi Kantor Media Pemerintah Gaza.

Abu Samer Jundiyah kehilangan dua putranya di waktu yang berbeda, di lokasi yang sama. Keduanya gugur saat mencoba membawa pulang sekarung tepung.

“Saya bilang ke mereka: jangan pergi. Tak perlu makan jika harus mati,” tutur sang ayah. Tapi putranya, Zahir, menjawab: “Ayah, aku tidak tahan melihat anak-anakku kelaparan.”

Zahir keluar Jumat malam, membawa harapan. Tapi ia pulang Minggu pagi, dalam balutan kain kafan, terkena peluru di kepala. Lima anak kini menjadi yatim.

Sang istri duduk dalam diam di pengungsian, dikelilingi anak-anaknya. “Kami tak makan tiga hari. Dia pergi mencari makan, tapi kembali sebagai jenazah,” ucapnya tertahan.

Putri sulungnya, Intishar, menyela dengan air mata: “Kami bilang, jangan pergi, Ayah… tapi dia tetap pergi, dan kembali tidur dalam diam, di atas punggungnya.”

Zahir bahkan pernah terluka sebelumnya, ginjal, limpa, dan kakinya rusak. Tapi demi anak-anaknya, ia rela menukar rasa sakit dengan resiko kematian.

Di Antara Nafas Terakhir dan Sekarung Harapan

Zahir menyusul jejak saudaranya, Samer, yang juga gugur di tempat yang sama. Dua kematian dari satu keluarga, di jalan yang sama, jalan yang menghubungkan antara hidup dan maut, antara tepung dan darah.

Meski tragedi terus berulang, ribuan warga Gaza tetap antre setiap hari di bawah terik, menuju titik distribusi bantuan yang telah menjelma menjadi gerbang kematian.

Di Zikim, Al Jazeera mewawancarai warga yang rela mempertaruhkan nyawa demi sesuap makanan.

“Kami melihat sendiri bagaimana para pemuda ditembak satu per satu di depan mata kami. Tapi apa pilihan kami?” kata Abu Wael, suaranya bercampur amarah dan putus asa.

“Lebih baik mati daripada melihat anak-anak menangis kelaparan setiap hari.”

Muhammad, seorang ayah dari 12 anak, berkata: “Kami sudah dua bulan tak makan roti layak. Aku tak punya pilihan lain selain menerobos maut.”

Seorang pejalan kaki yang kembali dengan tangan kosong menimpali, “Kalau kau tak kuat atau cepat, kau tak dapat apa pun. Sistem distribusi ini tidak adil, orang tua, perempuan, orang lemah, semua tersisih.”

Di tengah kerumunan, seorang ibu (Um Khalil) berteriak sambil berlari, mencari anaknya yang pergi diam-diam untuk mengambil tepung.

“Ya Allah, semoga anakku masih hidup… Dialah tulang punggungku, Ya Allah, tolong!”

Di sudut lain, seorang pemuda kembali membawa sekarung tepung di bahunya. Wajahnya tersenyum, seperti pejuang yang menang di medan perang.

“Hari ini lebaran, Bu… Aku menang lawan maut!”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here