Di tengah kehancuran Gaza, sistem kesehatan publik kembali berada di ambang kehancuran total. Laboratorium rumah sakit kini nyaris lumpuh karena kekurangan bahan dan alat penting untuk pemeriksaan medis. Pasien dan keluarga mereka terpaksa berjuang sendiri demi sekadar mendiagnosis penyakit.

Khaled Jaradah (58), seorang ayah dari enam anak di Deir al-Balah, telah menghabiskan lebih dari 70 dolar demi memeriksa sampel usus putrinya yang menderita peradangan usus besar. Putrinya telah dirawat selama lebih dari 50 hari di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, satu-satunya fasilitas medis di kota tersebut, yang kini tak mampu lagi menyediakan sebagian besar pemeriksaan laboratorium.

Dulu, jenis analisis seperti ini bisa dilakukan di Rumah Sakit Gaza Eropa di Khan Younis. Namun, setelah ancaman evakuasi dari tentara Israel, layanan laboratorium rumah sakit itu lumpuh, dan sebagian aktivitasnya dipindahkan ke Rumah Sakit Nasser.

Sayangnya, kawasan tersebut pun berada dalam zona bahaya. Akhirnya, Khaled harus mengirim sampel ke laboratorium swasta di Kota Gaza melalui jalur yang porak-poranda akibat bombardemen.

“Saya hanya mengenali tubuh putra saya dari sepasang sepatu yang menempel di kakinya. Wajahnya telah meleleh karena rudal,” ujar seorang ayah lainnya dengan getir.

Harga Tak Terjangkau, Layanan Kian Langka

Kondisi ini bukan kasus tunggal. Seperti keluarga Mariam Al-Astal (72), yang terpaksa mengungsi ke zona berbahaya demi mendapatkan akses rumah sakit. Putrinya mengaku hampir seluruh tes yang dibutuhkan ibunya harus dicari di laboratorium swasta dengan harga yang mencekik.

“Kami miskin, tapi kesehatan ibu saya tidak bisa menunggu,” ucapnya.

Laboratorium di Ambang Tutup

Menurut Muhammad Abu Ghayadh, ahli laboratorium RS Syuhada Al-Aqsa, kekurangan bahan kimia dan alat pengambilan darah telah mencapai titik kritis. Sementara itu, Dr. Sahar Ghanem, Direktur Laboratorium dan Bank Darah Kementerian Kesehatan Gaza, menyebut sistem laboratorium menghadapi “risiko kolaps total” dalam hitungan hari jika tidak segera disuplai bahan dan alat vital.

“Kami tidak bisa lagi melakukan tes dasar seperti fungsi hati, kanker, penyakit akibat kondisi lingkungan pengungsian, bahkan pemeriksaan kualitas air dan makanan,” tegas Dr. Ghanem.

Menurutnya, saat ini hanya 4 dari 12 laboratorium utama di rumah sakit Gaza yang masih beroperasi. Sisanya hancur dibom atau tak bisa difungsikan karena evakuasi. Bahkan, 60% laboratorium di pusat layanan primer telah lumpuh.

Peralatan medis yang tersisa pun sudah usang dan terancam rusak permanen tanpa suku cadang.

Kekurangan paling parah terjadi pada kantong darah dan alat pengambilan darah. Ini bukan karena kurangnya pendonor, melainkan karena tak tersedia lagi bahan-bahan yang memungkinkan proses transfusi berlangsung. Jika tak ada bantuan segera, layanan ini akan terhenti dalam dua minggu.

Blokade Membunuh

Tak hanya fasilitas publik yang terdampak. Blokade Israel juga mencekik sektor laboratorium swasta, yang kini tak bisa mengimpor bahan uji. Akibatnya, semua beban jatuh ke sistem kesehatan publik yang sudah di ambang runtuh.

Dr. Ghanem menyerukan kepada lembaga internasional untuk bertindak cepat sebelum sistem laboratorium Gaza benar-benar lumpuh dan nyawa pasien melayang karena tidak bisa didiagnosis, apalagi diobati.

“Bukan hanya bangunan yang hancur, sistem kesehatan kami pun sedang diruntuhkan sedikit demi sedikit,” tuturnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here