Spirit of Aqsa, Palestina – Lembaga Hak Asasi Manusia Amnesty Internasional menilai zionis Israel menerapkan kebijakan apartehid terhadap warga Palestina.
Kebijakan apartheid merupakan kebijakan yang membeda-bedakan ras seseorang di sebuah negara. Kebijakan ini pertama kali dikenal saat pemerintah kulit putih Afrika Selatan menerapkan apartehid, yang kemudian berakhir pada 1990 M.
Amnesty mencatat kebijakan apartheid dilakukan berdasarkan “pemisahan, perampasan, dan pengucilan” terhadap bangsa Palestina, yang juga menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Temuan tersebut dimuat dalam laporan terbaru setebal 211 halaman berdasarkan penelitian dan analis hukum mengenai tindakan zionis Israel merampas lahan warga Palestina, pembunuhan ilegal, pemindahan paksa warga dan tidak memberikan kewarganegaraan.
Amnesty mengatakan berbagai tindakan sudah menciptakan sebuah sistem “penindasan dan dominasi”, termasuk juga pembatasan terhadap gerakan warga Palestina di wilayah yang dikuasai zionis Israel, kurangnya investasi di kawasan komunitas Palestina yang tinggal di Israel dan pencegahan kembalinya pengungsi Palestina.
Kami tidak menyimpulkan ini dengan gegabah,” kata Heba Morayef, Direktur Masalah Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International.
“Artinya warga Palestina diperlakukan sebagai kelompok ras yang lebih rendah dan terus diperlakukan seperti itu.”
Heba mengatakan butuh waktu selama empat tahun terakhir untuk melakukan penelitian dari berbagai dokumen terkait dengan kebijakan yang dilakukan Israel.
Ini menjadi laporan kedua yang dikeluarkan lembaga hak asasi manusia selama setahun terakhir, yang menuduh Israel menjalankan kebijakan apartheid.
Pada bulan April 2021, lembaga Human Rights Watch juga mengeluarkan kesimpulan yang sama.
Israel sudah pernah dituduh melakukan kebijakan apartheid di wilayah Palestina yang dikuasai Israel, namun dalam laporan terbaru Amnesty menyebutkan kebijakan Israel juga diterapkan bagi warga Palestina di Israel.
Palestina: laporan menggambarkan situasi sebenarnya
Warga Palestina mendukung laporan terbaru Amnesty. Bassam Al-Salhe anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengatakan laporan ini “mengonfirmasi dan mendukung pandangan Palestina yang sudah lama mengenai kependudukan yang dilakukan Israel.”
Ia juga mengatakan laporan ini menggambarkan “situasi sebenarnya di lapangan.”
Israel menggunakan alasan keamanan untuk menerapkan pembatasan perjalanan bagi warga Palestina, menyusul serangkaian tindakan yang terjadi di awal tahun 2000-an termasuk beberapa aksi bom bunuh diri di beberapa kota di Israel.
Palestina ingin mendirikan negara sendiri di Tepi Barat dan Gaza, dengan Al-Quds sebagai ibu kotanya.
Gaza sebuah kawasan kecil di tepi pantai Laut Tengah dikuasai oleh zionis Israel pada 1967 namun berhasil direbut pejuang Palestina pada 2005. Saat ini Gaza dikuasai oleh Hamas. Israel lalu menerapkan blokade ke Gaza sejak 2007.
Amnesty mengatakan Dewan Keamanan PBB seharusnya menerapkan embargo senjata terhadap Israel, karena telah membunuh banyak warga sipil dalam protes mingguan yang terjadi di perbatasan dengan Gaza di tahun 2018-2019.
Zionis Israel mengatakan protes warga tersebut termasuk upaya kelompok militan Palestina untuk melanggar perbatasan.
Amnesty juga menyerukan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk mempertimbangkan tuduhan apartheid dalam penyelidikan mengenai kejahatan perang yang dilakukan kedua belah pihak dalam beberapa kali bentrokan yang terjadi di kawasan Palestina.