Spirit of Aqsa, Palestina- Perempuan Palestina di Jalur Gaza menderita kekurangan pembalut, alat sterilisasi, dan peralatan kebersihan secara umum. Hal ini berdampak negatif terhadap kehidupan mereka.
mengutip The New Arab, perempuan setempat kadang-kadang harus menghabiskan waktu berhari-hari mencari pembalut dan tisu, selain alat sterilisasi kebersihan pribadi, di apotek, toko, dan pasar lokal.
Upaya itu pun jarang berbuah hasil karena langkanya stok barang-barang tersebut. Mereka mengaku menderita akibat tidak adanya perlengkapan kebersihan diri, terutama saat siklus menstruasi yang memerlukan perhatian khusus.
Di antara perempuan-perempuan tersebut adalah Zainab Omar, seorang pengungsi Palestina di kota Rafah, yang menghabiskan beberapa hari mencari pembalut, namun tidak dapat memperolehnya.
“Saya mengungsi dari rumah saya di Kota Gaza ke Rafah tanpa bisa membawa apapun,” tutur perempuan berusia 28 tahun itu. “Tanpa pakaian, tanpa uang, apapun.”
Ia menyambung, “Saya tidak tahu bahwa perang akan berlangsung lama dan saya akan tinggal jauh dari rumah untuk waktu yang lama. Saya berjuang keras bertahan hidup dan menghadapi semua keadaan sulit yang saya dan suami saya hadapi.”
Zainab tidak tahu bahwa ia akan menghadapi “siksaan baru” yang melibatkan pencarian pembalut ketika masa menstruasinya semakin dekat. “Saya tidak mempersiapkan diri untuk kondisi seperti itu,” beber warga Palestina itu.
Menambah Penderitaan Perempuan di Gaza
Zainab melanjutkan, “Saya datang bulan, dan saya tidak membawa perlengkapan mandi pada hari-hari seperti ini. Suami saya sering mencari pembalut untuk saya, tapi ia juga tidak menemukannya.”
Akhirnya, ia terpaksa memotong hijabnya jadi tiga bagian untuk digunakan sebagai pengganti pembalut, karena ia masih sesekali bisa mencuci jilbabnya. “Saya banyak menangis. Saya takut tertular bakteri saat menggunakan kain sebagai pengganti pembalut, tapi saya tidak punya pilihan lain,” ujarnya.
Bagi Maram Al-Sayed, seorang perempuan pengungsi asal Kota Gaza, situasinya lebih buruk, terutama karena ia baru saja melahirkan bayinya tiga minggu. Ia bercerita, “Saya diusir dari rumah sebelum saya melahirkan tanpa membawa satu pun pakaian bayi, bahkan perlengkapan bersalin.”
“Saya pikir, saya akan segera kembali ke rumah, tapi semua harapan saya sia-sia,” sebut dia. “Saya dan suami berjuang keras membeli pakaian bayi, serta perlengkapan mandi dan pembalut. Tapi, kami hanya menemukan sedikit di antaranya dengan harga yang sangat mahal.”
Terjangkit Infeksi Bakteri
Ibu muda itu menyambung, “Pembalut saya hanya bertahan beberapa hari, dan inilah yang membuat saya menggunakan potongan kain untuk digunakan selama masa nifas.”
Akibat kekurangan air, cuaca dingin, serta kurangnya pembalut dan perlengkapan mandi, Maram terjangkit infeksi bakteri pada alat kelamin yang memaksanya harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, membuatnya meninggalkan si bayi.
“Karena infeksi bakteri, saya tidak berhenti menstruasi dan penyakit itu masih terus saya alami hingga saat ini. Para dokter mengatakan bahwa mereka mungkin harus melakukan operasi pada rahim saya jika tubuh saya tidak merespons perawatan medis,” jelasnya.
Kondisi ini sebenarnya telah mendorong banyak aktivis menuntut penyediaan perlengkapan kebersihan pribadi perempuan di Gaza. Mereka menekankan bahwa persediaan tersebut “bukanlah barang mewah” dan “penting untuk menjamin kesehatan perempuan.”
Kelangkaan kebutuhan perempuan di Jalur Gaza disebabkan adanya pencegahan masuk bantuan kemanusiaan. Akibatnya, beberapa wanita terpaksa menggunakan obat kontrasepsi untuk menunda siklus menstruasi mereka, menyebabkan banyak dari mereka merasakan sakit luar biasa dan memperburuk penderitaan sehari-hari mereka.
Bahaya yang Membayangi
Menggunakan peralatan apa pun yang terkontaminasi saat menstruasi, bahkan buang air kecil, dapat menyebabkan infeksi bakteri, terutama bagi wanita,yang mungkin terinfeksi bakteri staphylococcus yang berbahaya, menurut Samia Abu Draz, seorang dokter kandungan dan ginekolog di Kota Gaza.
“Jika bakteri ini menginfeksi vagina, infeksinya dapat mencapai rahim dan saluran tuba, dan pada saat itu dapat terjadi peradangan panggul. Ini berpotensi menyebabkan keracunan darah, yang kemudian menyebabkan ketidakmampuan untuk hamil lagi,” Abu Draz mengatakan.
Heba Rashid, seorang pegawai Yayasan Amal Mersal, mengatakan bahwa pengiriman pembalut telah dilakukan sejak awal perang. Namun, ia menambahkan, jumlah tersebut jauh lebih sedikit daripada yang dibutuhkan perempuan di Jalur Gaza.
Menurut PBB, sebelum eskalasi ini terjadi, terdapat 650 ribu perempuan dan anak perempuan yang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan di Gaza. Perkiraan ini kini meningkat jadi 1,1 juta, termasuk hampir 800 ribu perempuan yang jadi pengungsi internal di wilayah Gaza.