Spirit of Aqsa – Seperti bulan-bulan sebelumnya, pelanggaran yang dicatat di Provinsi Al-Quds pada September 2024 tak kalah parah. Israel terus melakukan pembunuhan, eksekusi, penangkapan, dan penghancuran rumah-rumah warga Palestina.

Selama bulan lalu, pasukan Israel secara brutal mengeksekusi dua pemuda dan seorang anak di kamp Shuafat dan Qalandiya serta di Kota Tua Al-Quds.

Selain mengakhiri hak hidup ketiga orang tersebut, pendudukan juga merenggut kebebasan lebih dari 118 warga Al-Quds, termasuk 6 remaja dan 4 wanita, dalam rangkaian operasi penangkapan yang meningkat sejak pecahnya perang pada 7 Oktober lalu.

Di samping penangkapan baru, pengadilan pendudukan mengeluarkan 12 perintah penahanan administratif terhadap tahanan dari Provinsi Al-Quds, di mana para pemuda dari desa-desa di barat laut Al-Quds yang terisolasi oleh tembok mendapatkan porsi terbesar dari hukuman ini.

Dalam kerangka hukuman pengusiran, sembilan perintah dikeluarkan terhadap warga Palestina, semua yang memegang KTP Israel (biru) yang mengklasifikasikan mereka sebagai penduduk Kota Al-Quds.

Di antara yang mendapatkan perintah pengusiran pada bulan September adalah Gubernur Al-Quds, Adnan Ghaith, yang diberikan oleh intelijen Israel perintah untuk memperpanjang pengusirannya dari wilayah Tepi Barat.

4.511 Pemukim Menodai Al-Aqsa

Terkait dengan Masjid Al-Aqsa yang menghadapi banyak pelanggaran pada bulan Oktober ini seiring dengan perayaan musim hari raya Yahudi yang lebih panjang, 4.511 pemukim telah menginvasi area masjid selama September.

Mereka melakukan doa-doa Taurat secara kolektif, bernyanyi, menari, dan melaksanakan ritual “sujud epik” hampir setiap hari di halaman timur dekat Mushala Bab Al-Rahma.

Jurnalis Arnon Segal, salah satu aktivis kelompok ekstremis Temple, menulis mengenai foto-foto sujud epik di halaman tersebut, “sedikit cahaya di tengah gelap yang besar” dan “kami menjalankan tugas kami sebagai bagian dari usaha perang hingga kemenangan mutlak.”

Puluhan ekstremis melakukan ritual ini pada hari Minggu lalu, menari dan bernyanyi di sebelah timur masjid sebagai perayaan atas pembunuhan Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah.

Di antara pelanggaran lain yang didokumentasikan oleh para pendukung kelompok ekstremis selama invasi ke Al-Aqsa adalah tindakan tentara yang memasuki masjid dengan seragam militer, serta perayaan aktivis ekstremis “Ofer Dyan” yang merayakan perpisahan dari status lajangnya di masjid bersama teman-temannya.

Dalam persiapan menyambut musim hari raya Yahudi yang akan datang, yang mencakup Rosh Hashanah, Sukkot, Yom Kippur, dan penutupan Taurat, kelompok Temple mengumumkan melalui media sosial bahwa mereka akan menyediakan bus gratis untuk pemukim yang ingin menginvasi Masjid Al-Aqsa.

Puluhan Operasi Penghancuran

Pekerjaan juga dimulai pada proyek lift “Kotel” yang berjarak 200 meter dari Tembok Buraq, dinding barat Masjid Al-Aqsa, untuk memfasilitasi akses warga Yahudi yang mengalami keterbatasan mobilitas menuju area Buraq, sehingga memudahkan mereka yang ingin menginvasi Al-Aqsa.

Biaya proyek ini mencapai 55 juta shekel (sekitar 15 juta dolar), yang mencakup lift, jalur bawah tanah, dan jalan yang memiliki toko-toko, serta ruang dan aula di lantai atas yang akan ditambahkan kemudian.

Dalam hal penghancuran, Al Jazeera mencatat 33 operasi penghancuran di Provinsi Al-Quds yang menargetkan puluhan rumah dan fasilitas, termasuk 8 operasi penghancuran paksa. Bulan September berakhir setelah alat berat pendudukan menghancurkan 7 fasilitas komersial di Kamp Shuafat di utara kota yang diduduki.

Sedangkan terkait rumah-rumah yang terancam pengosongan untuk kepentingan pemukim, pengadilan pendudukan memutuskan untuk mengusir keluarga Ghaith dari rumah mereka yang terletak di lingkungan Batan Al-Hawa di desa Silwan, selatan Masjid Al-Aqsa, dengan dalih rumah tersebut milik Yahudi asal Yaman sebelum tahun 1948.

Di sektor pendidikan, serangan terhadap kurikulum Palestina di Al-Quds kembali meningkat, dan pemerintah pendudukan mengancam akan melakukan pemeriksaan mendadak di sekolah-sekolah kota untuk memastikan bahwa manajemen sekolah telah mendistribusikan kurikulum Palestina yang “disesuaikan” yang dipaksakan oleh pemerintah kota dan Kementerian Pendidikan Israel.

Karena penolakan warga Al-Quds Nader Abu Afifah untuk menerapkan kurikulum ini di sekolahnya yang didirikan pada tahun 1994 dan bernama “Ahbab Al-Rahman,” ia terpaksa menutup sekolah tersebut awal bulan lalu setelah Kementerian Pendidikan Israel menolak untuk memperbarui izin operasinya di Kamp Shuafat.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here