Sistem kesehatan di Jalur Gaza menghadapi krisis paling serius sepanjang perang. Lebih dari separuh daftar obat dan perlengkapan medis esensial dilaporkan habis total di gudang pusat, memicu ancaman terhentinya layanan medis vital bagi ribuan pasien dan korban luka.
Tenaga medis kian kesulitan menyediakan pengobatan, terutama bagi penderita penyakit kronis. Kondisi ini diperparah oleh kepadatan ekstrem di rumah sakit, dengan pasien memadati ruang perawatan hingga lorong-lorong, sementara kebutuhan layanan terus meningkat.
Sejumlah dokter menyatakan kepada Al Jazeera bahwa obat-obatan krusial telah lenyap dari rumah sakit. Situasi tersebut memaksa penggunaan obat lama atau protokol pengobatan usang yang memiliki risiko efek samping lebih besar bagi pasien.
Di luar rumah sakit, krisis tak kalah terasa. Pasien kesulitan menemukan obat di apotek swasta. Jika tersedia, harganya kerap melampaui daya beli warga, memperparah beban di tengah tekanan ekonomi yang menjerat Gaza.
Kebutuhan harian layanan kesehatan tetap tinggi, terutama untuk menangani korban luka, amputasi, operasi bedah, dan perawatan lanjutan. Namun, kelangkaan antibiotik kuat, obat pereda nyeri, serta perlengkapan medis esensial terus terjadi.
Di tengah kondisi tersebut, desakan agar perlintasan dibuka semakin menguat. Pasien dan keluarga menuntut masuknya obat-obatan penyelamat nyawa serta akses keluar bagi mereka yang membutuhkan perawatan lanjutan di luar Gaza.
Seorang warga Gaza menggambarkan kondisi layanan kesehatan sebagai serba kekurangan (mulai dari alat medis hingga obat penghilang nyeri) seraya berharap anaknya dapat pulih dan kembali sehat.
Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan krisis telah melampaui sekadar kekurangan obat dan mengarah pada runtuhnya sistem pasokan farmasi. Tingkat kekurangan obat esensial dilaporkan melampaui 50 persen dari lebih 600 jenis, sementara defisit perlengkapan medis mencapai lebih dari 70 persen dari kebutuhan lebih 1.000 item.
Kekurangan paling parah terjadi pada obat kanker dan penyakit darah (hingga 70 persen), vaksin (lebih dari 50 persen), serta bahan habis pakai bedah jantung yang dilaporkan habis 100 persen. Kondisi serupa juga terjadi pada bedah ortopedi dan oftalmologi.
Dokter memperingatkan, situasi ini berisiko memicu kematian, terutama pada anak-anak yang mengalami malnutrisi, atau berujung amputasi akibat ketiadaan perlengkapan bedah ortopedi.
Krisis berlangsung seiring pembatasan masuknya truk medis ke Gaza oleh Israel, yang disebut Kementerian Kesehatan hanya mencapai kurang dari 30 persen dari kebutuhan bulanan.
Meski perang telah berakhir, Israel dinilai belum memenuhi kewajiban dalam kesepakatan gencatan senjata yang berlaku sejak 10 Oktober lalu, termasuk komitmen memasukkan jumlah truk obat sesuai kesepakatan.
Beberapa jam sebelumnya, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyerukan persetujuan segera untuk masuknya pasokan dan peralatan medis esensial ke rumah sakit Gaza. Ia menegaskan fasilitas kesehatan di Gaza mengalami kekurangan akut akibat prosedur masuk yang berbelit dan berbagai pembatasan.
Sumber: Al Jazeera










