Tim pertahanan sipil Gaza memulai pencarian jasad para syuhada yang tertimbun di bawah reruntuhan rumah-rumah yang dihancurkan serangan Israel, dengan keterbatasan peralatan yang amat memprihatinkan. Juru bicara pertahanan sipil Gaza, Mahmoud Bassal, menyatakan operasi pencarian dilakukan dalam kondisi darurat, tanpa dukungan alat berat yang memadai.

Bassal menjelaskan, upaya awal difokuskan pada rumah keluarga Abu Ramadan di Kota Gaza, yang hancur sejak hari-hari pertama perang. Di rumah itu, 96 orang syahid sekaligus, termasuk 30 anak, 10 perempuan, dan tujuh lansia. Seluruh korban masih terkubur di bawah puing-puing bangunan.

Menurutnya, pertahanan sipil bekerja bersama Badan Arab untuk Rekonstruksi Gaza serta kementerian-kementerian terkait di wilayah tersebut. Namun, keterbatasan alat menjadi kendala utama. “Kami tidak memiliki satu pun alat berat penyelamatan.

Pencarian dilakukan dengan peralatan sederhana,” ujar Bassal. Ia menegaskan, sedikitnya 40 unit alat berat dibutuhkan agar proses evakuasi jenazah dapat dilakukan secara serius dan bermartabat, sesuai ajaran agama.

Bassal mendesak para penjamin perjanjian gencatan senjata agar menekan Israel untuk mengizinkan masuknya alat berat ke Gaza. Ia menyoroti kontras perlakuan yang terjadi, ketika peralatan modern diperbolehkan masuk untuk mencari jasad tawanan Israel, sementara warga Palestina dibiarkan menggali puing dengan tangan kosong, sebuah praktik yang ia sebut sebagai standar ganda.

Seruan juga ditujukan kepada organisasi internasional agar terlibat langsung melalui proyek-proyek kemanusiaan, demi mengevakuasi jasad para syuhada dari reruntuhan yang membentang di seluruh Gaza. Kepada keluarga korban, Bassal meminta kerja sama untuk membantu proses identifikasi.

Data terbaru menunjukkan sekitar 77 persen rumah di Gaza (setara 436 ribu unit) hancur atau rusak, meninggalkan sekitar 50 juta ton puing. Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengangkatan puing-puing tersebut untuk menemukan sisa-sisa jasad korban dapat memakan waktu antara 15 hingga 20 tahun.

Di tengah keterbatasan dan penantian panjang itu, Gaza kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang keadilan, kemanusiaan, dan hak untuk memakamkan para syuhada dengan layak.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here