Keluarga Dr. Adnan Al-Barsh, dokter Palestina yang syahid di penjara Israel pada April 2024, terus mengupayakan pemulangan jenazahnya yang masih ditahan oleh pihak teroris Israel. Upaya ini muncul di tengah semakin banyaknya kesaksian dan dokumen yang mengungkap pelanggaran berat terhadap tahanan Palestina, serta ribuan orang yang hilang akibat perang, sebagian besar tanpa tercatat dalam dokumen resmi.

Dr. Al-Barsh, salah satu ahli bedah ortopedi paling ternama di Gaza dan kepala departemen ortopedi di Kompleks Medis Al-Shifa, menjadi simbol sistem kesehatan yang hancur akibat serangan masif selama perang. Setelah ditangkap dari Rumah Sakit Al-Awda di utara Gaza, berita tentangnya hilang total, hingga lima bulan kemudian keluarga menerima kabar tentang syahidnya dalam kondisi yang sangat berat, sebagaimana disaksikan oleh tahanan yang dibebaskan.

Eyas Al-Barsh, keponakan Dr. Al-Barsh, menjelaskan bahwa kampanye keluarga bertujuan mengenang jasa dokter tersebut sekaligus menekan pihak berwenang untuk mengembalikan jenazahnya agar bisa dimakamkan dengan layak di Gaza. Keluarga berharap jenazahnya termasuk dalam daftar yang dikembalikan melalui kesepakatan pertukaran tahanan, namun hingga kini belum ada konfirmasi. Kampanye ini awalnya dimulai melalui publikasi digital dan akan diperluas ke kegiatan lapangan untuk menarik dukungan dari lembaga hak asasi lokal maupun internasional.

Kisah Al-Barsh bersinggungan dengan isu yang lebih luas: nasib tahanan dan orang hilang yang syahid di penjara sejak awal perang. Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 300 jenazah menunjukkan tanda-tanda penyiksaan. Kesaksian tenaga medis dan pejabat kementerian menegaskan adanya pelanggaran terhadap jenazah, sehingga mendesak adanya penyelidikan internasional yang transparan dan mendesak.

Laporan media Israel, Walla, menunjukkan lonjakan kematian tahanan Palestina yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Januari dan Juni 2024, dengan 110 syahid dalam lima bulan saja—angka yang jauh melebihi periode sebelumnya. Kesaksian tahanan yang dibebaskan juga menegaskan adanya penyiksaan berat yang menewaskan banyak orang.

Kisah Dr. Al-Barsh bukan kasus terpisah. Selama perang, lebih dari 1.700 tenaga medis, termasuk dokter, perawat, dan paramedis, gugur atau terdampak. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan, termasuk Rumah Sakit Indonesia tempat Al-Barsh terluka saat melakukan operasi, menjadi sasaran serangan, memaksa tenaga medis bekerja di tengah kondisi ekstrem.

Dr. Munir Al-Barsh, sepupu dan Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan, menulis di platform X: “Kembalikan jenazah Dr. Adnan Al-Barsh. Jas putihnya adalah simbol kehidupan, stetoskopnya simbol kasih, dan dirinya adalah simbol kemanusiaan yang tak pernah tunduk.”

Ia menambahkan, “Okupasi merenggut nyawanya melalui penyiksaan dan menahan jenazahnya selama berbulan-bulan. Hingga kini, jenazahnya belum kembali ke keluarga maupun tanah kelahirannya. Hak untuk dimakamkan dengan layak adalah batas minimum keadilan yang tak boleh ditunda atau dinegosiasi.”

“Kami menuntut dengan suara lantang: kembalikan jenazah Dr. Adnan Al-Barsh sekarang juga… dan kembalikan jenazah semua tahanan yang tubuhnya ditahan secara sewenang-wenang.”

Keluarga menegaskan bahwa selama masa penahanan, mereka tidak mendapat informasi apa pun tentang kondisi kesehatan atau lokasi dokter Al-Barsh. Kabar terakhir datang dari tahanan yang dibebaskan, yang menyatakan Al-Barsh ditahan untuk waktu lama sebelum dinyatakan syahid.

Kisah Dr. Adnan Al-Barsh bukan sekadar cerita keluarga yang mencari jenazah; ia mencerminkan tragedi yang dialami ribuan warga Palestina yang nasibnya masih misterius—antara yang hilang di tengah perang, yang ditahan di pusat penahanan rahasia, dan keluarga yang menunggu jenazah orang terkasih agar bisa mengucapkan selamat tinggal.

Dalam konteks ini, kasus Al-Barsh menjadi cermin dari skala kehilangan yang terjadi, sekaligus menegaskan perlunya penyelidikan internasional yang jelas dan transparan untuk menentukan tanggung jawab dan menjamin hak keluarga untuk mengetahui nasib orang yang mereka cintai.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here