Sebuah pertempuran tak terduga namun berdampak besar terjadi di bawah tanah timur Rafah, selatan Gaza, menurut laporan Jerusalem Post oleh kepala wartawan militernya, Yonah Jeremy.
Sekitar 200 pejuang Hamas terjebak “tanpa sengaja” di wilayah yang dikontrol Israel saat gencatan senjata mulai berlaku awal Oktober 2025. Kejadian ini menjadi salah satu isu paling sensitif dan berpengaruh terhadap keamanan dan politik di kawasan beberapa pekan terakhir.
Selama kunjungan lapangan di Rafah, wartawan hanya bisa mendekati 600 meter dari lokasi bentrokan sehari sebelumnya, di mana pasukan Israel dari brigade Golani dan Nahal membunuh 11 pejuang dan menangkap 6 lainnya yang mencoba keluar dari jaringan terowongan.
Kolonel Adi Gonen, komandan brigade Golani, menyebut tujuan pasukannya adalah “menentukan posisi musuh dan menghancurkannya atau memaksa mereka menyerah”, sehingga total 17 pejuang syahid atau menyerah hari itu.
Bentrokan ini memicu ancaman Hamas untuk mundur dari gencatan senjata, sekaligus mengguncang politik Israel dan Amerika. Utusan AS, Jared Kushner dan Steve Witkoff, tiba di Al-Quds untuk meminta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membiarkan pejuang keluar dan kembali ke wilayah Gaza yang dikontrol Hamas, dengan syarat menyerahkan senjata ke pihak Mesir.
Namun proposal ini memicu perpecahan tajam dalam pemerintah Israel, ditentang keras oleh Menteri Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir. Kekacauan bertambah karena pesan “kontradiktif” dari Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, yang kadang tampak bersikap terbuka untuk membiarkan pejuang keluar, dan kadang menekankan pembunuhan atau penyerahan paksa ke pasukan Israel.
Sumber militer Israel menyebut pejuang terjebak kekurangan makanan, air, dan mengalami kemerosotan moral. Banyak yang keluar karena hampir mati kelaparan atau karena kemajuan pasukan Israel di terowongan. Beberapa diserang drone Hermes 450-Zik saat mencoba keluar, sementara yang tertangkap dibawa ke markas Shin Bet untuk diinterogasi. Puluhan lainnya diduga tewas dan dikubur di bawah tanah.
Situasi ini dimanfaatkan Israel sebagai tawaran tekanan untuk menuntut pengembalian jenazah tentara Israel dari Hamas. Meskipun gencatan senjata berlaku, pasukan Israel tetap siaga dan tersebar di Rafah, jauh dari pemukiman. Persiapan terhadap pasukan internasional yang akan ditempatkan awal 2026 juga belum dilakukan, memunculkan keraguan soal realisme jadwal pengiriman pasukan tersebut.
Jerusalem Post menyimpulkan, pertempuran bawah tanah ini menjadi uji penting ketahanan gencatan senjata, di mana semua pihak nyaris terseret ke konflik lebih luas, namun keputusan pemimpin Israel, Palestina, dan regional akhirnya menahan diri dan membiarkan situasi berkembang di lapangan.
Sumber: Jerusalem Post










