Seiring Dewan Keamanan PBB mengesahkan rancangan resolusi buatan Washington (yang disusun berdasarkan rencana Presiden AS, Donald Trump) kekhawatiran Palestina kembali menguat. Banyak yang menilai kerangka resolusi ini lebih selaras dengan kepentingan Israel, sementara tuntutan Palestina diperlakukan longgar dan tidak mengikat.
Dalam peta jalan internasional yang ditawarkan, salah satu prioritas utama adalah pelucutan senjata kelompok perlawanan melalui skema administrasi internasional dengan mandat luas. Penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza pun dikaitkan dengan “stabilitas keamanan,” membuka ruang bagi tentara Israel untuk tetap hadir sebagai aktor keamanan dalam jangka waktu tidak ditentukan. Pertanyaan besarnya: bagaimana kelompok perlawanan merespons dinamika ini?
Risiko yang Mengemuka
Meski dokumen AS itu dikemas sebagai upaya memperkuat gencatan senjata, melonggarkan akses bantuan, hingga mengisyaratkan jalur menuju negara Palestina, analis politik Wisam Afifa menilai ada sederet risiko nyata:
- Internasionalisasi Gaza untuk waktu panjang, dengan menempatkannya di bawah “Dewan Perdamaian” yang belum jelas akuntabilitasnya.
- Penghapusan sumber kekuatan rakyat Palestina, termasuk upaya menarik senjata kelompok perlawanan.
- Kembalinya Otoritas Palestina ke Gaza, namun dalam kondisi tunduk pada syarat eksternal.
- Penundaan pembentukan negara Palestina tanpa tenggat dan tanpa jaminan kedaulatan.
Delapan negara Arab dan Muslim memang menyatakan dukungan terbuka terhadap rancangan tersebut dengan alasan membuka jalan menuju penentuan nasib sendiri. Namun, Afifa mengingatkan bahwa dukungan politik itu harus diikuti etika: proses ini tak boleh dikendalikan dengan mengorbankan hak-hak dasar rakyat Palestina.
“Setiap bentuk peran internasional,” ujarnya, “harus dikaitkan pada hak rakyat menentukan masa depannya, bukan pada skema keamanan jangka panjang.”
Faksi-faksi Palestina Mengingatkan
Faksi dan kekuatan politik Palestina memperingatkan bahwa rancangan resolusi itu dapat menjadi pintu masuk bagi perwalian internasional atas Gaza dan memperkuat konsep keamanan yang berpihak pada Israel. Dalam dokumen sikapnya, mereka menyebut rancangan tersebut membuka ruang dominasi eksternal atas keputusan-keputusan nasional Palestina, mulai dari tata kelola Gaza hingga proses rekonstruksi.
Mereka menegaskan: isu senjata adalah persoalan internal Palestina yang terkait langsung dengan proses politik menuju pengakhiran pendudukan dan pemenuhan hak menentukan nasib sendiri.
Afifa memperkirakan perlawanan Palestina akan merespons melalui strategi berlapis:
- Mendelegitimasi resolusi sebagai keputusan eksternal yang tak lahir dari konsensus nasional, sehingga tidak dapat dianggap mengikat visi masa depan Palestina.
- Bersikap realistis di lapangan, dengan mengelola interaksi terbatas terhadap kekuatan internasional dan menekan agar mandat mereka hanya fokus pada bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi—bukan agenda keamanan atau politik.
- Menyusun kembali payung politik nasional, yang memperkuat legitimasi rakyat berdasarkan prinsip perlawanan dan hak historis.
Mengokohkan Sikap
Pengamat politik Iyad al-Qarra menilai penolakan tegas faksi-faksi terhadap setiap upaya pelucutan senjata (yang mereka anggap hanya mungkin dibicarakan setelah pendudukan berakhir) adalah kelanjutan dari posisi politik yang konsisten.
Ia mengatakan, faksi-faksi kini berupaya membangun dukungan Arab lebih luas atas penolakan terhadap keberadaan kekuatan internasional bersenjata di Gaza. Hal itu, menurutnya, selaras dengan keputusan berbagai KTT Arab-Islam yang mendorong pembentukan komite nasional Palestina untuk mengelola Gaza sepenuhnya.
Menurut al-Qarra, bagaimana faksi perlawanan merespons tahap berikutnya sangat bergantung pada detail akhir resolusi Dewan Keamanan. Jika resolusi itu menitikberatkan pada pelucutan senjata dan mempertahankan kehadiran Israel di Gaza (atau mengemas rekonstruksi sebagai ilusi perdamaian untuk menutupi kontrol militer) maka penolakan akan semakin menguat.
Ia meyakini, bila resolusi menunjukkan niat yang merugikan rakyat Palestina, banyak negara akan menolak berpartisipasi dalam kekuatan internasional tersebut. Mereka tak ingin terseret ke dalam misi yang berpotensi membawa mereka berhadapan langsung dengan faksi perlawanan maupun memaksa mereka melakukan pelucutan paksa.










