Dua tahun setelah perang Israel yang menghancurkan Gaza, di mana pendidikan menjadi salah satu target sistematisnya (dengan membunuh mahasiswa, dosen, dan meruntuhkan bangunan akademik) Universitas Islam Gaza mulai bernapas kembali.
Kehidupan perlahan menyusup ke sudut-sudut kampus terbesar di wilayah itu, bersiap menyambut kembali pendidikan tatap muka.
Universitas memulai proses perbaikan gedung-gedung yang masih tersisa, menyisakan hanya sebagian dari sembilan bangunan utama (laboratorium, gedung administrasi, dan tujuh gedung kelas) yang sebagian besar luluh lantak akibat serangan Israel.
Hanya empat bangunan yang masih berdiri secara struktural, meski hancur parah, menurut Dr. Saib Al-Awaini, Wakil Rektor Bidang Administrasi.
Hidup dari Abu dan Puing
Dengan tangan yang dibatasi blokade, Universitas berhasil merestorasi gedung Irada dan Falasteen. Nama mereka menjadi simbol keteguhan warga Gaza untuk bangkit dari reruntuhan, mengekstraksi kehidupan dari kematian dan kehancuran. Dr. Al-Awaini menyatakan, perkuliahan tatap muka untuk Fakultas Kedokteran dan Teknik dimulai 8 November, sementara fakultas lain akan mengikuti secara bertahap.
Kehidupan akademik yang sempat hilang selama perang mulai perlahan pulih berkat gencatan senjata pada 10 Oktober. Namun, kembalinya pendidikan tatap muka bukan tanpa tantangan. Mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan kerusakan infrastruktur, keterbatasan transportasi, dan situasi ekonomi yang terpuruk.
Tantangan Besar, Semangat Tak Terkalahkan
Sekitar 80% gedung dan fasilitas Universitas hancur, laboratorium, alat-alat, bahkan gedung di Khan Yunis rusak parah. Proses restorasi menghadapi kekurangan bahan bangunan akibat blokade, harga semen melambung dari 25 shekel menjadi 1.500 shekel per sak. Dari 1.500 kursi kuliah yang dibutuhkan, baru tersedia 150 kursi, hanya 10% dari kebutuhan.
Meski demikian, Universitas memberi bebas biaya kuliah semester pertama untuk semua mahasiswa, dengan sistem “beasiswa prestasi” bagi yang berprestasi. Dr. Al-Awaini menekankan: “Hidup lahir dari rahim kematian”. Universitas bahkan membuka pendaftaran bagi lulusan baru SMA yang sempat tertunda akibat perang.
Kisah Mahasiswa: Harapan di Tengah Perjuangan
Farah Abu Abid, mahasiswa Teknik Arsitektur, menyambut gembira kembalinya perkuliahan tatap muka setelah dua tahun belajar jarak jauh.
Namun, dia dan teman-temannya menghadapi kesulitan transportasi dan akses ke kampus, akibat kerusakan jalan dan minimnya sarana.
Rumahnya di Khan Yunis juga hancur saat serangan Desember 2023, meninggalkan harapan besar untuk berkontribusi dalam pembangunan kembali Gaza setelah lulus.
Pendidikan Gaza Menjadi Target Sistematis
Menurut Dr. Ismail Al-Thawabteh, Direktur Media Pemerintah, sektor pendidikan tinggi adalah salah satu yang paling terdampak perang, dengan serangan yang sengaja menargetkan universitas dan institusi akademik untuk menghapus identitas ilmiah dan budaya Palestina.
Sekitar 95% sekolah dan institusi pendidikan rusak, lebih dari 165 universitas dan sekolah hancur total, serta 392 lembaga rusak sebagian.
Sumber: Al Jazeera










