Di selatan Jalur Gaza, di antara hamparan kebun zaitun dan ladang citrus, berdirilah Al-Qararah, sebuah kota kecil di Khan Younis yang pernah menjadi jantung kehidupan pertanian Palestina. Namun kini, kota itu nyaris tak berjejak. Dalam agresi brutal Israel sejak Oktober 2023, 95 persen bangunan Al-Qararah telah dihancurkan, warganya diusir, dan tanahnya digunduli.
“Israel meratakan Al-Qararah hingga ke tanah,” kata Bassem Sharab, Wali Kota Al-Qararah. “Semua (rumah, jalan, sekolah, masjid, bahkan sumur air) lenyap di bawah puing.”
Dari Kota Subur Menjadi Padang Abu
Sebelum perang, Al-Qararah dikenal sebagai kota pertanian yang makmur, dengan luas sekitar 11.777 dunam (setara 11 juta meter persegi). Tanahnya yang subur menghasilkan buah-buahan, sayuran, dan pohon zaitun terbaik di Gaza. Di musim semi, aroma jeruk berpadu dengan semilir angin dari Laut Tengah yang membentang di baratnya.
Namun sejak dimulainya agresi militer “Pedang Besi” pada Oktober 2023, kota ini menjadi salah satu titik kehancuran paling parah di Gaza. Tentara Israel memaksa seluruh warga meninggalkan rumah mereka, menggempur lingkungan padat penduduk, dan menebar maut melalui udara serta darat. Puluhan keluarga gugur, ratusan lainnya kehilangan tempat tinggal, sementara ladang-ladang yang dulu hijau kini berubah menjadi gurun puing.
Titik Panas Perlawanan
Letak Al-Qararah yang strategis (berbatasan langsung dengan garis hijau di timur Gaza) menjadikannya salah satu titik utama perlawanan. Di sinilah, pejuang-pejuang Palestina menghadang pasukan Israel dalam berbagai pertempuran sengit.
Pada Desember 2023, empat tentara Israel dilaporkan tewas dalam pertempuran di wilayah ini. Pada Agustus 2024, Brigade Al-Qassam merilis dokumentasi operasi yang menargetkan pasukan Israel yang bersembunyi di salah satu rumah warga. Serangan berlanjut hingga Mei 2025, ketika para pejuang berhasil menjebak pasukan pendudukan di dalam terowongan dan meledakkannya dari jarak nol.
Al-Qararah telah lama menjadi garis depan sejarah perlawanan Palestina. Sejak masa penjajahan Inggris hingga perang 1948 dan pendudukan 1967, penduduknya tak pernah menyerah. Mereka menjaga tanah itu dengan darah dan keteguhan, sadar bahwa setiap pohon dan setiap rumah adalah bagian dari identitas mereka.
Kota yang Hilang, Tapi Tak Lenyap
Kini, setelah dua tahun genosida yang dilakukan Israel di Gaza, Al-Qararah menjadi kota hantu. Rumah sakit, sekolah, jaringan listrik, dan sistem air telah hancur. Bahkan museum budaya Al-Qararah (yang menyimpan peninggalan dari zaman Kanaan dan Bizantium) ikut rusak akibat serangan udara.
Namun di balik kehancuran itu, tetap tersisa jejak keberanian: nama-nama keluarga lama seperti As-Samiri, Abu Sabet, Al-‘Abadlah, dan Al-Agha yang tak mau meninggalkan tanah leluhur mereka. Mereka adalah wajah-wajah yang, meski diusir dan kehilangan segalanya, masih memegang harapan bahwa Al-Qararah akan hidup kembali.
Sebab bagi rakyat Gaza, tanah bukan sekadar tempat tinggal, ia adalah bagian dari jiwa, dan jiwa tak bisa dibom.
“Kami mungkin kehilangan rumah, tapi bukan akar kami,” kata salah satu warga yang selamat. “Selama masih ada yang mengingat Al-Qararah, kota ini belum mati.”
Sumber: Media Palestina










