Lebih dari 300 tokoh publik, termasuk anggota Kongres AS Rashida Tlaib, penulis novel terkenal Sally Rooney, dan aktris Hannah Einbinder, mengumumkan boikot terhadap New York Times. Mereka menolak menulis di surat kabar berpengaruh itu sampai redaksi melakukan reformasi besar-besaran terhadap kebijakan pemberitaan yang dinilai bias terhadap rakyat Palestina.
Aksi ini juga menyerukan agar AS memberlakukan embargo senjata terhadap Israel, serta menuntut New York Times menarik laporan kontroversialnya tentang dugaan kekerasan seksual saat serangan 7 Oktober lalu.
Menurut laporan harian Haaretz, surat terbuka para tokoh tersebut berjudul “Genosida Bukanlah Urusan Opini”. Dalam surat itu mereka menegaskan, media massa (sama seperti pabrik senjata) telah menjadi bagian dari mesin perang yang melanggengkan impunitas dan rasisme terhadap Palestina.
Mereka menilai New York Times, sebagai media paling berpengaruh di Amerika Serikat, telah berperan membentuk opini publik yang menutup-nutupi kejahatan perang Israel, bahkan melakukan pembenaran atas genosida di Gaza.
Tuntutan Reformasi dan Akuntabilitas Redaksi
Surat itu menuntut New York Times untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap ruang redaksi, termasuk kebijakan perekrutan, cara mengutip sumber, dan panduan liputan agar bebas dari bias dan rasisme terhadap Palestina.
Mereka juga menyerukan agar surat kabar tersebut berhenti mempekerjakan jurnalis yang pernah menjadi bagian dari militer Israel, karena dianggap berpotensi mencederai independensi liputan.
Para penandatangan (yang terdiri dari akademisi Timur Tengah Rashid Khalidi, whistleblower WikiLeaks Chelsea Manning, aktivis lingkungan Greta Thunberg, dan dokter sekaligus penulis asal Kanada Gabor Maté) menyebut laporan New York Times berjudul “Screams Without Words” sebagai bentuk disinformasi.
Laporan itu, yang menuding pejuang Hamas melakukan kekerasan seksual, mereka bandingkan dengan berita palsu soal “senjata pemusnah massal” di Irak pada 2004. Kedua kasus ini, kata mereka, sama-sama menjadi contoh bagaimana media besar dapat menjadi corong propaganda perang.
Surat tersebut menutup dengan seruan moral yang tegas, “Kami menolak berpartisipasi dalam apa yang disebut Ghassan Kanafani sebagai dialog antara pedang dan leher.”
Sebuah pesan yang menggema dari nurani para intelektual dunia, bahwa ketika jurnalisme berhenti berpihak pada kebenaran, maka diam menjadi bentuk kolusi dengan penindasan.










