Rencana pembentukan kekuatan internasional di Jalur Gaza memantik banyak tanda tanya. Tujuan dan batas kewenangannya masih kabur, terombang-ambing di antara klaim Amerika Serikat, syarat ketat Israel, dan sikap hati-hati pihak Palestina yang hanya menerima kehadirannya sebatas pengawas gencatan senjata.

Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa pasukan penstabil Gaza akan segera dikirim. Ia menyebut tim ini tengah menyeleksi para komandan dan menjanjikan bahwa “misi ini akan membawa perdamaian sejati yang belum pernah terjadi di Timur Tengah.”

Namun, pernyataan itu segera diiringi nada kehati-hatian dari Menlu AS Marco Rubio, yang menegaskan pembentukan pasukan multinasional harus “nyaman bagi Israel” serta menolak keras kemungkinan keterlibatan pasukan Turki.

Dari pihak Palestina, pemimpin Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, menyatakan bahwa faksi-faksi Palestina hanya menerima pasukan PBB sebagai pengamat dan penjaga perbatasan, bukan sebagai kekuatan yang memaksakan kendali militer. Menurutnya, keputusan akhir soal mandat, durasi, dan struktur pasukan harus melalui resolusi Dewan Keamanan PBB.

Namun pandangan itu jelas berseberangan dengan visi AS dan Israel. Bagi Washington, pasukan ini harus mampu melucuti senjata Hamas dan menegakkan “keamanan” versi Israel. Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan, Israellah yang akan menentukan pasukan mana yang boleh atau tidak boleh ditempatkan di Gaza.

Antara Pengawasan dan Pemaksaan

Perbedaan visi ini, menurut Dr. Ibrahim Fraihat, pakar konflik internasional dari Doha Institute, menunjukkan “dua bahasa berbeda untuk satu entitas yang sama.” “Trump dan Hamas berbicara tentang kekuatan yang sama,” ujarnya, “tetapi maksudnya sepenuhnya bertolak belakang, dan ini berpotensi menjadi benturan yang hanya menunggu waktu.”

Senada, analis militer Brigadir Elias Hanna menilai bahwa inti perdebatan ada pada definisi: apakah pasukan itu akan menjaga keamanan, atau memaksakan keamanan? “Secara militer, perbedaan itu fundamental,” tegasnya.

Fraihat meragukan ada negara yang mau ikut serta jika mandatnya adalah melucuti senjata Hamas tanpa persetujuan gerakan itu sendiri. Hal ini juga diakui oleh Dr. Abdul Hamid Siyam, pakar hubungan internasional dan urusan PBB, yang mengatakan bahwa rancangan resolusi masih dibahas di Dewan Keamanan dan belum mencapai bentuk final.

Menurut Siyam, kekuatan utama PBB bukanlah militernya, melainkan legitimasi hukum internasional. “Negara-negara menerima misi PBB karena mereka bukan kekuatan hegemonik,” ujarnya, “melainkan simbol otoritas moral dan hukum.”

Arah yang Tidak Pasti

Fraihat memperkirakan skenario akhir misi ini akan berubah menjadi pasukan pengawas perbatasan dengan mandat terbatas, tanpa kewenangan militer penuh.

Ia juga memperingatkan kemungkinan fragmentasi Gaza: sebagian wilayah tetap di bawah kontrol Hamas (namun dikecualikan dari proses rekonstruksi) sementara sisi lain akan dikelola Israel dengan akses pada proyek bantuan internasional.

Jika benar terjadi, “misi perdamaian” ini mungkin akan menjadi babak baru dari konflik lama, di mana kekuatan asing kembali hadir, bukan sebagai penjaga perdamaian, melainkan sebagai penjaga status quo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here