Upaya ribuan warga Palestina untuk kembali ke Gaza utara bukan hanya soal bertahan hidup. Menurut Tamer Qarmout, Associate Professor di Doha Institute for Graduate Studies, langkah itu adalah pernyataan identitas dan perlawanan terhadap upaya penghapusan bangsa Palestina dari tanahnya sendiri.
“Sekitar 70 persen penduduk Gaza adalah keturunan pengungsi Palestina yang terusir dari desa dan kota mereka pada 1948 dan 1967,” kata Qarmout kepada Al Jazeera, merujuk pada dua gelombang besar pengusiran massal oleh Israel, yang dikenal sebagai Nakba dan Naksa.
Qarmout menegaskan bahwa proyek Israel sejak awal adalah proyek kolonial pemukim. “Mereka menginginkan tanahnya, tapi tidak dengan penduduknya. Sejak perang genosida ini dimulai, tujuan utamanya jelas: mengosongkan Gaza dari rakyatnya,” ujarnya.
Karena itulah, arus warga Palestina yang nekat kembali ke utara, bahkan melewati medan ranjau dan reruntuhan kota, bukan sekadar eksodus balik. Itu adalah sikap menolak punah, kata Qarmout. “Mereka kembali untuk tetap berpijak di tanah mereka, mempertahankan hak mereka, mempertahankan apa yang mereka yakini sebagai bagian dari keberadaan mereka.”
Trauma lintas generasi menjadi alasan kuat lain yang mendorong mereka untuk tidak lagi meninggalkan rumah. Qarmout mengenang kisah pengungsian besar Palestina di masa lalu. “Ribuan orang dulu pergi hanya membawa kunci rumah mereka, yakin akan kembali dalam hitungan hari atau minggu. Tapi mereka tidak pernah kembali. Trauma itu diwariskan hingga kini, bersama luka kehilangan yang besar,” katanya.
Kini, generasi baru Palestina memilih jalan lain: tidak mengulang sejarah kehilangan yang dipaksakan. Kembali ke Gaza utara adalah pesan tegas mereka kepada dunia — bahwa meski dibombardir, diblokade, dan dipaksa hengkang, mereka tidak akan menyerahkan tanah dan identitas mereka kepada kolonialisme Israel.