Setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencananya untuk Gaza pasca pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu Gedung Putih merilis rincian rencana tersebut dalam 20 poin. Trump menyebut peluncuran rencana yang dinamai “Prinsip-Prinsip Perdamaian” sebagai “hari bersejarah untuk perdamaian.”
Sebelumnya, ia berjanji kepada para pemimpin Arab dan Muslim di New York pada 23 September 2025 bahwa ia tidak akan membiarkan Israel menganeksasi wilayah Tepi Barat, serta bertekad berupaya keras mewujudkan perdamaian di kawasan itu.
Namun, pernyataan resmi Gedung Putih menyisakan banyak pertanyaan penting: apakah rencana ini bisa dijalankan secara realistis, dan apakah benar-benar ada komitmen politik dari semua pihak yang terlibat. Para pakar senior Amerika yang menyoroti isu Timur Tengah menilai rencana ini sarat masalah.
Rencana yang Tidak Berkelanjutan
Anil Shilein, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, menegaskan bahwa rencana Trump untuk Gaza tidak berkelanjutan secara politik maupun militer.
“Rencana ini gagal menyentuh inti konflik: hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan menuntut keadilan,” katanya kepada Al Jazeera.
Menurut Shilein, setiap rencana yang mengabaikan keadilan bagi Palestina secara inheren menanam benih kehancuran karena hanya akan memperpanjang konflik.
Christian Kots Ulrichsen, ahli hubungan internasional dari Baker Institute, Universitas Rice, Texas, menambahkan bahwa sulit membayangkan rencana ini bisa berjalan tanpa adanya kehendak politik nyata dari semua pihak utama. Ulrichsen menyoroti ketiadaan perwakilan Palestina dalam penyusunan rencana yang dimodifikasi oleh Israel, sehingga legitimasi lokal diragukan.
Ketiadaan Peran Otoritas Palestina
Menyinggung pengecualian Otoritas Palestina dari peran apapun dalam pemerintahan Gaza, Ulrichsen menegaskan bahwa rencana apa pun hanya bisa berhasil jika bersifat lokal, bukan dipaksakan dari luar.
Shilein menambahkan bahwa Netanyahu telah jelas menolak keberadaan pemerintahan Palestina yang sah dan komitmen terhadap kerja sama dengan Israel.
Meskipun koordinasi Otoritas Palestina dengan Israel telah mengikis legitimasi mereka, Netanyahu tetap melihat mereka sebagai ancaman karena kemampuan mereka mengelola urusan rakyat Palestina di mata komunitas internasional.
David Mak, mantan asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Timur Tengah, menyebut pengecualian Otoritas Palestina sebagai kemunduran serius dan pertanda bahwa rencana ini sulit berhasil jangka panjang.
Menurutnya, Amerika dan sekutunya di dunia Arab memiliki tanggung jawab sebagian karena tidak menggunakan pengaruh mereka untuk memperbarui kepemimpinan Palestina dengan figur yang lebih muda dan efektif.
Ketiadaan Dasar Hukum untuk Kendali AS
Trump juga mengusulkan peran sementara Amerika mengelola Gaza. Shilein menekankan bahwa tidak ada dasar hukum internasional bagi Amerika untuk memimpin otoritas sementara di Gaza.
Rencana ini juga tidak menyediakan mekanisme penegakan untuk memaksa Israel mematuhi persyaratan, mirip dengan pengalaman Oslo: tidak ada sanksi saat Israel melanggar kesepakatan. Bahkan jika Israel dan Hamas mau mengikuti rencana ini (yang sangat kecil kemungkinannya) tidak ada alasan bagi Israel untuk konsisten menaatinya.
Ulrichsen menambahkan, tanpa mekanisme legal yang jelas, keberhasilan rencana ini nyaris mustahil. David Mak juga menekankan bahwa Amerika tidak memiliki hak memimpin otoritas sementara di Gaza, sehingga dukungan jangka pendek yang terlihat selama pengumuman rencana kemungkinan akan hilang sebelum rencana ini dimulai.
Solusi yang Masih Mungkin
Mak menyarankan agar Dewan Manajemen Internasional yang diusulkan diganti dengan perwakilan negara Arab dan Islam, yang siap menyumbang pasukan keamanan dan dana, untuk membantu rekonstruksi Gaza.
Shilein menekankan bahwa sementara Hamas tidak boleh berperan, negara Arab, pemimpin Eropa, dan badan PBB tetap memiliki peran strategis untuk mewujudkan bagian-bagian positif dari rencana Trump di lapangan.