Menjelang operasi militer besar di Kota Gaza, retakan internal kian nyata dalam tubuh militer Israel. Di balik propaganda keberhasilan serangan, pasukan darat justru menghadapi krisis senyap: peralatan usang, anggaran terbatas, dan strategi tempur yang menempatkan mereka di garis bahaya tanpa jaminan perlindungan memadai.

Laporan investigasi Haaretz mengungkap keluhan prajurit bahwa mereka diperlakukan sekadar “umpan meriam”. Sejumlah tentara mengaku nyawanya dipertaruhkan akibat kekurangan peralatan dasar dan kendaraan tempur yang rusak. Ironisnya, semua ini terjadi ketika miliaran shekel justru digelontorkan untuk pengadaan senjata canggih, terutama bagi Angkatan Udara.

“Tank Tanpa Baut” dan “APC Bunuh Diri”

Salah satu taktik ekstrem yang dipakai pasukan darat adalah apa yang dijuluki “APC bunuh diri”. Kendaraan lapis baja tua M113 dipenuhi bahan peledak lalu diarahkan ke bangunan di Gaza untuk menghancurkan jebakan atau ranjau. Tapi cara ini penuh risiko. Dalam satu insiden, sistem detonasi gagal bekerja, dan tentara diperintahkan memperbaikinya secara manual, praktik nekat yang hampir mengorbankan mereka.

Seorang perwira senior yang bertugas sejak awal perang mengeluhkan kondisi itu:

“Tidak ada anggaran untuk menjalankan operasi dengan benar. Perangkat rusak, kendaraan mogok, dan kami dipaksa tetap maju. Sementara ketika menyerang Iran, setiap detail dieksekusi sempurna. Di Gaza, kami hanya bahan bakar perang.”

Keluhan serupa datang dari unit tank. Seorang komandan menyebut kondisi peralatan terburuk sepanjang kariernya: kekurangan baut, rantai, hingga mesin yang tak lagi mendapat perawatan standar. Beberapa unit bahkan dilarang menggunakan peluru tank kecuali dalam keadaan darurat.

Ketidakadilan Anggaran dan Krisis Moral

Data belanja militer memperlihatkan ketimpangan mencolok: sekitar 75% anggaran pengadaan senjata dalam beberapa tahun terakhir dialokasikan untuk Angkatan Udara, sementara pasukan darat dibiarkan beroperasi dengan armada tua. Tahun 2025, meski anggaran pertahanan mencapai 140 miliar shekel, kebutuhan lapangan jauh melampaui ketersediaan dana.

Akibatnya, tentara mulai mencari solusi di luar jalur resmi. Grup-grup internal di media sosial dipenuhi permintaan donasi untuk perlengkapan dasar seperti helm, rompi antipeluru, hingga tandu medis. Bahkan ada unit komunikasi yang secara terbuka meluncurkan kampanye penggalangan dana karena merasa nyawanya terancam oleh peralatan “bekas dan berbahaya”.

Gaza: Kubangan Tanpa Ujung

Kontradiksi ini menimbulkan gesekan internal. Angkatan Udara dipandang mendapat perlakuan istimewa, sementara pasukan darat dipaksa menanggung beban paling berat dari perang Gaza yang seakan tak berujung. Jika serangan udara ke Iran dinilai sebagai “operasi presisi”, maka Gaza digambarkan sebagai “kubangan dalam tanpa jalan keluar”.

Seorang perwira merangkum frustrasi itu dengan lugas: “Kalau targetnya menjatuhkan bangunan tinggi di Gaza, maka strategi harus berubah total. Tanpa dukungan dominan Angkatan Udara, saya tidak tahu bagaimana itu bisa dicapai.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here