Amerika Serikat kembali memainkan narasi diplomatiknya, kali ini untuk menutupi fakta bahwa Israel hingga kini belum memberi jawaban atas proposal gencatan senjata yang sudah disetujui faksi-faksi perlawanan Palestina. Banyak pengamat menilai manuver ini sebagai upaya menggiring ke arah kesepakatan baru yang sepenuhnya dikendalikan oleh kepentingan Israel.

Qatar secara resmi menegaskan bahwa Israel belum menanggapi usulan yang disusun berdasarkan kerangka Amerika dan telah diterima pihak Palestina. Namun, alih-alih menyinggung soal kesepakatan, Presiden Donald Trump justru melontarkan prediksi bahwa perang di Gaza akan “berakhir secara tuntas dalam dua hingga tiga pekan.”

Di lapangan, Israel terus melanjutkan operasi militernya menuju jantung Kota Gaza. Kepala Staf Eyal Zamir bahkan mengakui operasi itu bisa berlangsung selama setahun penuh, sekalipun ada penolakan keras dari dunia internasional.

Dari “Kesepakatan Parsial” ke “Kesepakatan Total”

Sebelumnya, pembicaraan mengarah pada pertukaran terbatas. Namun kini, PM Benjamin Netanyahu mengubah wacana: hanya akan menerima kesepakatan total, yakni pemulangan semua tawanan, hidup maupun gugur, dalam satu paket.

Bagi Washington dan Tel Aviv, kata James Robbins dari Council on Foreign Relations, skema ini adalah “opsi terbaik” karena pada dasarnya memaksa Hamas menyerah dan keluar dari Gaza sebagai syarat untuk mengakhiri perang. Resistensi perlawanan jelas: mereka menolak tegas syarat-syarat yang dianggap sebagai bentuk kapitulasi.

Meski berbicara soal jalur politik, Robbins menegaskan AS percaya tekanan militer tetap “alat utama” untuk memaksa Hamas tunduk. Pandangan ini, menurut pakar hubungan internasional Husam Shaker, memperlihatkan keberpihakan penuh Washington pada Israel, bukan sikap mediator yang netral.

Trump, Netanyahu, dan Strategi “Kesepakatan Baru”

Pernyataan Trump yang mengisyaratkan adanya “terobosan” tanpa menyebut proposal yang sudah diterima Palestina semakin menguatkan dugaan: ia selaras dengan strategi Netanyahu menyiapkan kesepakatan baru, sesuai syarat Israel, dengan dukungan internasional sebagai tameng.

Robbins bahkan mengakui, AS tidak pernah mendesak Israel agar menerima kesepakatan yang sudah disetujui Hamas, meski dokumen itu lahir dari kerangka yang disusun Washington sendiri. Hal ini, menurut pakar Israel Ihab Jabarin, menunjukkan bahwa pernyataan Trump “kehilangan kredibilitas” dan posisi AS kini sepenuhnya berada di orbit Netanyahu.

Motif politik Netanyahu pun terbaca gamblang. Ia tengah mencari “kemenangan absolut” atau minimal memaksa Hamas menyerah, sebagai modal dalam pemilu berikutnya. Jika menerima proposal yang ada, koalisi pemerintahannya bisa runtuh. Karena itu, perang dijadikan panggung politik, sekalipun berarti memperpanjang penderitaan Gaza.

Doha dan Seruan Tekanan Internasional

Bagi Qatar, ketiadaan jawaban Israel seminggu setelah Palestina menyetujui kesepakatan menjadi alarm penting. Doha menyerukan agar komunitas internasional menekan Israel untuk bersikap jelas.

Tetapi pada kenyataannya, kata Shaker, sulit berbicara tentang “tekanan terhadap Israel” ketika Washington justru menjadi tameng bagi setiap langkah Netanyahu. “Apa yang terjadi di Gaza hari ini adalah genosida dan pembersihan etnis. Dunia boleh saja menghindari istilah itu, tapi fakta di lapangan tak bisa dibantah,” ujarnya.

Shaker menegaskan, keberlanjutan praktik ini akan membawa konsekuensi besar bagi citra Israel di dunia internasional —tak hanya soal Gaza hari ini, tapi juga dalam sejarah global di masa mendatang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here