Penindasan terhadap para khatib dan imam Masjid Al-Aqsa bukanlah kebijakan baru dalam daftar panjang agresi Israel. Selama lebih dari tiga dekade, setiap kata yang terucap dari mimbar Al-Aqsa telah menjadi objek pengawasan dan intimidasi. Namun, sejak meletusnya perang genosida di Gaza, tekanan itu berubah rupa menjadi penindasan sistemik, brutal, dan terang-terangan, sebuah upaya untuk membungkam suara yang masih berani menyebut nama “Gaza” dalam doa dan khotbah.

Gelombang represi terbaru menyeret nama-nama besar. Sheikh Iyad Al-Abbasi, Qadhi Al-Qudhat Al-Quds, ditangkap hanya beberapa jam setelah menyampaikan pelajaran agama yang menyuarakan penderitaan rakyat Gaza yang terperangkap dalam kelaparan dan kematian. Sebelumnya, Mufti Al-Quds, Sheikh Muhammad Hussein, diinterogasi dan diusir dari Al-Aqsa setelah khutbah Jumatnya menyinggung kondisi Gaza, pengasingan yang kini diperpanjang hingga enam bulan.

Sheikh Ikrima Sabri, suara lantang dari mimbar Al-Aqsa sejak 1973, telah lama menjadi target. Sejak Intifada Kedua tahun 2000, ia berkali-kali mengalami interogasi, pelarangan, pengusiran, bahkan ancaman pembongkaran rumah. Tapi bagi Syekh Sabri, semua ini bukan sekadar intimidasi personal, melainkan bagian dari proyek sistemik untuk mencabut identitas Islam dari Al-Aqsa, mengikis kehadiran umat, dan menanamkan klaim Israel atas situs suci tersebut.

“Setiap pembatasan terhadap khatib adalah serangan terhadap Al-Aqsa itu sendiri,” ujar Sabri. “Larangan menyebut Gaza dalam khotbah adalah bentuk penyensoran brutal terhadap kebenaran.”

Politik Pengekangan Meluas: Dari Al-Aqsa ke Lorong-lorong Kota Tua

Rezim penindasan ini tak berhenti di pelataran Al-Aqsa. Sejak Oktober 2023, para khatib dari berbagai masjid di penjuru Al-Quds (dari Silwan hingga Shu’afat) turut menjadi korban. Tuduhan “menghasut” dijatuhkan hanya karena mereka menyuarakan solidaritas terhadap Gaza. Beberapa di antaranya, seperti Sheikh Issam Amira dan Sheikh Jamal Mustafa, kini mendekam di penjara Israel karena keberanian mereka berdiri di atas kebenaran.

Pengacara Khaled Zabarqa menegaskan, ini bukan semata kebijakan keamanan, tapi strategi perburuan politik yang ditujukan pada siapa pun yang punya pengaruh dalam membangun kesadaran kolektif rakyat Palestina. Dengan menarget para khatib, Israel hendak membungkam nalar dan membasmi kesadaran—dua pilar utama perlawanan damai yang tersisa.

“Hukum Israel sendiri menyatakan bahwa para khatib berada di bawah yurisdiksi Waqaf Islam. Tapi negara penjajah ini melampaui batas-batas legalitas untuk membungkam narasi Palestina,” ungkap Zabarqa.

Mimbar sebagai Medan Juang

Dalam konteks pendudukan dan perang asimetris, mimbar masjid menjadi benteng terakhir penyampaian kebenaran. Para khatib adalah penjaga suara hati rakyat, penutur luka, dan penyala harapan. Maka, bukan kebetulan jika mereka jadi sasaran.

Tantangan ini menuntut keberanian sekaligus ketelitian. Zabarqa menyarankan agar para khatib dibekali pendampingan hukum untuk membingkai khutbah mereka secara strategis, agar tetap bernyali tanpa tergelincir ke dalam jerat hukum yang telah dirancang untuk menjebak.

Pada akhirnya, persoalannya bukan sekadar soal kata-kata di mimbar. Ini soal perebutan makna, soal siapa yang berhak bicara atas kebenaran dan siapa yang dituduh menghasut karena menolak diam. Dalam perang narasi yang membungkam, setiap khutbah adalah bentuk perlawanan. Dan setiap suara yang bertahan, adalah tapal batas antara penindasan dan martabat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here