Di sudut gelap sebuah ruang pengungsian di Gaza, Meryam Abdul Aziz Dawas, bocah perempuan berusia sembilan tahun, terbaring di atas ranjang besi berkarat. Tubuhnya kurus tinggal tulang, kulitnya pucat, dan matanya yang besar tenggelam dalam kesedihan yang tak pantas dipikul oleh anak seusianya.
Cahaya remang dari jendela kecil tak mampu mengusir debu yang menyesaki udara, apalagi menghangatkan dingin yang menggigit tulang. Di sampingnya, sebuah boneka lusuh menjadi satu-satunya saksi bisu atas masa kecil yang telah dirampas oleh kelaparan dan perang.
Tak ada suara tawa. Tak ada langkah riang. Hanya napas berat dan lirih sang ibu yang terus membisikkan doa, berusaha menyemai harapan yang makin pudar.
Meryam dulu berbobot 25 kilogram. Kini tubuhnya menyusut hingga hanya 10 kilogram. Ia tak lagi bisa berjalan, berbicara, apalagi bermain. Dokter tak menemukan penyakit. Tak ada virus. Tak ada luka. Hanya kelaparan yang perlahan meluruhkan hidupnya, menjadikannya kerangka hidup yang menunggu waktu.
Setiap kali ibunya mencoba membantunya berdiri, tubuh kecil itu menolak. Hanya mata yang berbicara, mata yang seolah ingin berteriak namun tak mampu bersuara.
Seorang Ibu yang Hanya Bisa Menangis
Sang ibu, dengan selimut tipis dan tangan bergetar, membungkus tubuh Meryam yang nyaris beku. “Aku takut… setiap malam aku takut ini akan jadi malam terakhirnya,” bisiknya, tenggelam dalam air mata. “Aku ingin melihat dia tersenyum lagi, sekadar bicara… atau berjalan… seperti dulu.”
Ia melanjutkan dengan suara patah, “Aku hitung tulangnya satu per satu setiap hari… Dulu dia bermain, tertawa… sekarang dia bahkan terlalu lemah untuk minta makan. Aku tak punya apa-apa. Tak ada roti, tak ada susu… dan perang telah menutup semua jalan bantuan.”
Di malam-malam yang panjang, sang ibu bergulat dengan rasa bersalah. “Kadang aku takut tidur… takut saat terbangun, anakku sudah tiada. Tak ada obat. Tak ada rumah sakit yang mampu menolong.”
Duka yang Tak Sendiri
Meryam hanyalah satu dari ribuan anak-anak Gaza yang kini tergeletak di ambang maut akibat kelaparan. Tiap hari berat badannya menyusut, nafasnya memendek, langkahnya menghilang.
Di pusat pengungsian, banyak ibu lain menangisi anak-anak yang terus melemah. Suara lapar mengalahkan suara tangis. Dan di antara dinding-dinding lembab dan selimut berdebu, tak ada yang tersisa selain menunggu. Menunggu keajaiban. Menunggu dunia peduli.
Gaza telah menjadi kuburan sunyi bagi masa kecil. Tak ada yang diminta Meryam selain sesuap roti dan seteguk susu, namun kelaparan telah menjelma menjadi pembunuh yang menyelinap setiap malam ke pelukan anak-anak.
Krisis Kemanusiaan yang Tak Bisa Lagi Diabaikan
Menurut laporan WHO dan UNICEF, lebih dari 70 ribu anak di Gaza menderita malnutrisi akut, dan 2,1 juta penduduk menghadapi kelaparan ekstrem, termasuk 785 ribu anak yang kehilangan akses pada gizi sehat. Angka anak-anak yang menderita kekurangan gizi meningkat tiga kali lipat hanya dalam beberapa bulan terakhir.
Meski klaim bantuan terus digembar-gemborkan, kenyataannya jalur darat masih tertutup. Bantuan udara jatuh di zona merah yang bahkan tak bisa dijangkau warga karena diblokade oleh tentara Israel.
Yang lebih menyayat, setidaknya 859 warga Palestina syahid saat mencoba mengambil bantuan, hanya demi sekantong tepung atau sebotol susu untuk anak-anak mereka.
Data PBB menunjukkan, lebih dari 18% anak-anak di bawah usia lima tahun mengalami malnutrisi akut. Tapi kelaparan tak lagi mengenal usia. Anak-anak, remaja, orang dewasa, semua tubuh kini dimangsa oleh lapar.
Gaza Berteriak, Dunia Masih Diam
Setiap menit berlalu adalah langkah mendekati kematian bagi anak-anak seperti Meryam. Namun dunia masih ragu untuk bertindak. Di ruang yang sunyi dan pengap, Meryam menggenggam tangan ibunya yang berdoa tanpa henti, berharap ada secercah perhatian melintasi dinding dingin peradaban yang selama ini memilih berpaling.
Sumber: Al Jazeera