Pasukan Israel melancarkan serangan bertubi-tubi sejak Rabu pagi, menyasar berbagai kota dan desa. Dalam operasi penyergapan besar-besaran itu, setidaknya 30 warga Palestina ditangkap, sementara bentrokan sengit meletus antara pemuda-pemuda Palestina dan pasukan pendudukan di Kober, sebuah desa kecil di barat laut Ramallah.
Di tengah gempuran, buldozer militer Israel mulai menghancurkan bangunan di kawasan pertanian dekat Kamp Pengungsi Al-Jalazun, utara Ramallah. Pasukan pendudukan mengepung wilayah itu, memblokade akses warga, lalu meratakan sejumlah bangunan dengan dalih klasik: “tanpa izin membangun”.
Sasaran berikutnya adalah Desa Dar Salah, timur Betlehem. Di sana, sebuah bangunan lima lantai yang masih dalam tahap konstruksi dihancurkan hingga rata tanah. Pasukan Israel datang lengkap dengan alat berat, membawa kehancuran di pagi yang masih tenang.
Tidak hanya itu. Di Khirbetah al-Misbah, selatan Ramallah, satu kafe sederhana yang menjadi tempat berkumpul warga juga diluluhlantakkan. Lokasinya berada di jalan penghubung menuju Beit Liqya, tengah-tengah jantung Tepi Barat yang kini dipenuhi reruntuhan dan luka.
Di Al-Quds yang diduduki, buldozer Israel meratakan sebuah rumah di lingkungan Wadi Qaddum, wilayah Silwan. Pasukan bersenjata mengepung rumah, memaksa penghuninya mengosongkan isi rumah mereka, kemudian menghancurkannya di hadapan mata anak-anak mereka sendiri.
Sementara itu di Hebron (al-Khalil), pasukan besar Israel menggerebek kota Dura, bagian dari operasi rutin yang kian hari kian represif. Di malam yang sunyi, mereka memasuki lingkungan Wadi Abu Ktila, mengepung rumah milik keluarga al-Haimuni, rumah yang menurut mereka milik Abdul Rahman al-Haimuni, seorang tahanan Palestina. Persiapan untuk meledakkan rumah itu pun segera dimulai.
Televisi Palestina melaporkan bahwa Israel telah mengirim tambahan pasukan dan perlengkapan khusus ke lokasi rumah al-Haimuni, bersiap untuk mengubahnya menjadi puing.
Pada 24 Juni lalu, militer Israel secara resmi mengumumkan niatnya menghancurkan rumah al-Haimuni. Ia dituduh terlibat dalam serangan terhadap kereta ringan di Tel Aviv pada awal Oktober 2023, yang membuat 7 orang syahid dan melukai 15 lainnya.
Sebelumnya, pada 5 Maret 2024, Israel sudah lebih dulu meledakkan dua rumah milik Ahmad al-Haimuni dan Muhammad Misk, yang juga dituduh terlibat dalam operasi yang sama. Saat itu, Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengklaim bertanggung jawab atas “Operasi Jaffa yang heroik,” yang dilakukan oleh kedua pejuang dari Hebron itu.
Data dari Otoritas Palestina untuk Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman menunjukkan bahwa sepanjang Juli 2024, Israel telah melakukan 75 operasi penghancuran, menargetkan 122 bangunan di Tepi Barat—termasuk 60 rumah yang dihuni, 11 rumah kosong, 22 bangunan pertanian, dan 26 tempat usaha.
Semua ini berlangsung dalam bayang-bayang genosida yang tengah berlangsung di Gaza. Sementara dunia sibuk membolak-balik resolusi, Israel bersama para pemukim ekstremis justru memperluas serangan brutal mereka ke Tepi Barat dan Al-Quds Timur.
Korban di wilayah ini terus bertambah. Data terakhir mencatat 1.013 warga Palestina gugur syahid di Tepi Barat, lebih dari 7.000 luka-luka, dan lebih dari 18.500 orang ditangkap, sebuah lonceng peringatan yang seolah-olah tidak terdengar oleh telinga internasional.
Sejak 7 Oktober 2023, dunia menyaksikan pembantaian sistematis di Gaza. Dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat, Israel melakukan pembunuhan massal, pengepungan, penghancuran dan pengusiran paksa, mengabaikan seluruh seruan gencatan senjata dan perintah dari Mahkamah Internasional.
Hingga kini, genosida tersebut telah merenggut 61.158 jiwa Palestina dan melukai 151.442 lainnya, mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Lebih dari 9.000 orang masih hilang, ratusan ribu menjadi pengungsi, dan kelaparan telah merenggut nyawa mereka yang selamat dari bom.
Di tanah yang dijajah dan langit yang dilumuri darah, Palestina terus bertahan, dengan batu, doa, dan semangat yang tak pernah padam.
Sumber: Al Jazeera, Anadolu