Keberadaan pusat-pusat distribusi bantuan kemanusiaan di kawasan yang berisiko tinggi di Gaza bukan tanpa alasan. Menurut analis politik Palestina, Iyad Al-Qarra, ada dua penyebab utama yang membuat masyarakat terus mendatangi lokasi-lokasi rawan tersebut, meski ancaman kematian dan penangkapan terus mengintai.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Al-Qarra menjelaskan bahwa yang pertama, tidak adanya alternatif yang aman dan layak membuat warga tak punya pilihan selain mendatangi titik distribusi bantuan, meski mereka sadar risiko nyawa yang harus ditanggung. Kedua, Israel secara sistematis menghalangi akses tim distribusi bantuan ke pusat-pusat pengungsian dan wilayah-wilayah padat penduduk, sehingga bantuan yang masuk hanya dalam jumlah sangat terbatas dan tak mampu menjawab besarnya kebutuhan.
“Kelangkaan alternatif dan lonjakan harga di pasar justru menambah penderitaan warga,” ujar Al-Qarra. Ia juga menyoroti fenomena mencemaskan: sebagian individu yang dibekingi oleh pendudukan didorong untuk menjarah bantuan dan dijamin keamanannya. Sebaliknya, mereka yang berupaya mendistribusikan bantuan secara adil justru dijadikan target serangan. Situasi ini memaksa sebagian orang nekat mengambil risiko tinggi demi menyalurkan bantuan, lalu menjualnya dengan harga selangit sebagai bentuk kompensasi atas bahaya yang mereka hadapi.
Tak hanya itu, Israel juga melarang masuknya barang-barang kebutuhan kesehatan dasar seperti susu bayi. Larangan ini memperparah krisis kesehatan, terutama di kalangan anak-anak dan ibu menyusui.
Al-Qarra menambahkan, pernyataan resmi tentang masuknya 30 hingga 40 truk bantuan per hari tidak sebanding dengan kebutuhan riil yang di masa normal berkisar antara 500 hingga 600 truk per hari. Dahulu, masyarakat terbiasa menerima distribusi bantuan yang layak dan langsung melalui lembaga-lembaga internasional. Kini, bantuan datang dalam jumlah sangat terbatas, dibagikan di tengah situasi yang amat berbahaya, dan diperebutkan oleh puluhan ribu warga yang kelaparan setelah stok kebutuhan pokok mereka habis.
Sejak Mei lalu, ketika bantuan kemanusiaan dikendalikan oleh lembaga bernama Gaza Humanity Mission berdasarkan skema AS-Israel, pusat-pusat distribusinya justru menjadi sasaran pembantaian. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, sedikitnya 1.200 orang syahid dan lebih dari 8.000 lainnya luka-luka akibat serangan yang dilancarkan oleh pasukan pendudukan dan para kontraktor asing.