Setiap pagi, Dalaal Abu ‘Asi (29 tahun), seorang ibu asal Gaza, mendorong kursi roda berkarat yang membawa dua anaknya yang sakit (Amani 2 tahun dan Hamzah 4 tahun) menyusuri jalan-jalan berdebu di kamp pengungsian Al-Maghazi, Jalur Gaza. Dengan langkah gontai, ia mencari sesuap makanan, seteguk air, apa pun yang bisa menyambung hidup mereka di tengah bencana kemanusiaan yang terus menekan.

“Tak ada rumah, tak ada makanan. Sejak awal perang, hidup kami hanya begini. Pagi keluar cari makan, pulang sore hanya bawa lelah,” ucapnya lirih, memeluk erat kedua anaknya di bawah sengatan matahari Gaza yang menyiksa.

Dari hari ke hari, rutinitas Dalaal tak berubah: kelaparan, penyakit, dan putus asa menyelimuti harinya di balik kain tenda robek yang ia sebut rumah, bersama tatapan anak-anaknya yang kosong, penuh tanya, dan tak tahu harus berharap pada siapa.

Dari Reruntuhan ke Tenda Pengungsian

Sebelum bom Israel menghantam apartemen mungil mereka di Jabalia, utara Gaza, Dalaal dan anak-anaknya tinggal dalam damai. “Kami sedang tidur ketika tiba-tiba ledakan menghantam. Rumah runtuh, kami keluar dari reruntuhan tak membawa apa-apa, hanya pakaian di badan,” kenangnya dengan suara pelan.

Sejak saat itu, Dalaal berpindah tujuh kali, dari utara ke selatan, lalu ke tengah Gaza. Terkadang tidur di jalan atau ladang kosong, hingga akhirnya berakhir di tenda reyot di halaman sekolah yang kini penuh sesak oleh pengungsi lainnya. “Saya sakit. Tak ada yang bantu. Saya gendong anak-anak di punggung, jalan kaki. Kadang tidur di tanah.”

“Senjata Baru Israel Adalah Kelaparan”

Kini, di dalam tendanya yang hanya berisi dua alas tipis, selimut usang, dan satu botol air untuk bertiga, Dalaal tak lagi bicara soal kenyamanan, hanya soal bertahan. “Tak ada kebersihan, tak ada privasi, tak ada rasa aman. Yang penting sekarang bisa kasih makan anak-anak saya, walau cuma satu suapan. Tapi itu pun sekarang jadi mimpi,” ujarnya.

Baginya, kelaparan adalah senjata yang lebih kejam dari bom. “Mereka ingin kami mati perlahan. Tak ada dapur umum, tak ada dapur rakyat. Tiap saya minta makanan, jawabannya: ‘Nggak ada. Semua orang juga lapar.’”

Data dari kantor media pemerintah Gaza menyebutkan bahwa Israel telah menghancurkan 42 dapur umum, 57 pusat distribusi bantuan, dan lebih dari 120 konvoi bantuan pangan dan medis. Ismail Ats-Tsawabita, kepala kantor media, menyebut aksi ini sebagai “kejahatan perang yang terorganisir.” Ia menambahkan, “Agresi ini bukan sekadar bom, tapi juga pengepungan, menghentikan makanan dan obat untuk anak-anak, perempuan, dan orang tua.”

Sejak 2 Maret, semua jalur bantuan ditutup total. Serangan pun makin intensif.

Ibu Sakit, Anak-Anak Lebih Sakit

Dalaal sendiri mengidap kanker payudara. Namun sejak perang meletus, tak ada lagi pengobatan. “Dulu saya ke rumah sakit untuk kemoterapi, tapi sekarang? Tak ada dokter, tak ada obat, tak ada yang peduli.”

Anaknya, Hamzah, mengalami gangguan motorik dan bicara, memerlukan terapi rutin. Amani, sang adik, menderita gangguan otak dan penglihatan, dokter menyarankan operasi mata segera. Tapi Dalaal tak mampu membelikan bahkan sekadar kacamata. “Popok pun tak ada, saya pakai kantong plastik. Kulitnya luka-luka, dia kesakitan.”

“Kami Mati Pelan-Pelan”

“Gaza mati pelan-pelan, dan tak ada yang melihatnya,” kata Dalaal lirih. Ia menutup ceritanya dengan seruan pilu, “Saya mohon kepada dunia, kepada setiap ibu, kepada setiap hati yang masih punya nurani, lihat kami. Anak-anakku sekarat. Dan saya, mati bersama mereka… perlahan.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here