Di tengah agresi militer Israel yang terus berlangsung di Gaza, warga Palestina 1948 (terutama para pemimpin politik dan anggota parlemen Arab) menghadapi gelombang baru penghasutan rasis dan kekerasan yang semakin membahayakan. Semua ini dipicu oleh sikap mereka yang menolak agresi brutal terhadap Gaza serta kebijakan pengepungan dan pembantaian massal yang dilakukan atas nama negara.

Seruan untuk menyeret mereka ke pengadilan, membatasi gerak politik mereka, bahkan mencabut legitimasi mereka sebagai wakil rakyat terus mengemuka, sebuah upaya sistematis untuk melenyapkan kehadiran politik warga Palestina dari arena publik Israel.

Tekanan itu tak hanya terjadi di ruang formal. Di jalanan, wajah rasisme Israel tampil tanpa tedeng aling-aling. Penyerangan terhadap tokoh-tokoh Arab meningkat, termasuk pemukulan terhadap anggota parlemen Ayman Odeh dan perusakan mobilnya. Anggota parlemen sayap kiri, Ofer Cassif, juga nyaris menjadi korban kekerasan fisik saat mengikuti demonstrasi anti-perang.

Represi, Kekerasan, dan Hukum yang Tajam ke Satu Arah

Sejak awal 2025, sembilan pemuda Palestina dari wilayah 1948 telah dibunuh oleh peluru polisi Israel. Di kampus dan media, tekanan terhadap mahasiswa dan jurnalis Palestina meningkat. Mereka dipecat, diintimidasi, bahkan diancam diusir hanya karena menyuarakan empati terhadap korban perang di Gaza.

Simbol-simbol nasional seperti bendera Palestina dilarang dikibarkan. Aksi-aksi tahunan seperti Hari Tanah dan Pawai Kepulangan dibatasi secara represif.

Sistem hukum Israel pun ikut serta dalam represi ini. Pengadilan menjatuhkan vonis pada Sheikh Kamal al-Khatib, Ketua Komite Kebebasan, atas tuduhan “penghasutan”, meski membebaskannya dari tuduhan lebih berat. Sementara aktivis Raja Ighbariah, pemimpin gerakan “Anak-anak Tanah Air”, ditahan secara administratif tanpa dakwaan. Banyak pemuda Palestina lainnya kini mendekam di penjara tanpa pengadilan, hanya lewat keputusan Menteri Pertahanan, Yisrael Katz.

Hapus Representasi, Hancurkan Legitimasi

Yousef Jabareen, pakar hukum dan mantan anggota parlemen dari Front Demokratik, menyoroti bahaya besar dari “Undang-undang Pemberhentian” Israel, sebuah perangkat hukum yang memungkinkan parlemen mencabut keanggotaan anggota parlemen Arab atas alasan politik. Ia menyebutnya sebagai bentuk baru kediktatoran yang menginjak prinsip demokrasi: pemisahan kekuasaan, hak untuk mencalonkan diri, dan perwakilan politik warga Arab.

Menurutnya, undang-undang itu kini dijadikan alat balas dendam politik terhadap anggota parlemen Arab, sebuah langkah sistematis untuk menghapus representasi politik masyarakat Palestina dari dalam.

Dari Kebijakan Jadi Budaya

Jamal Daqa, Sekretaris Partai Balad untuk wilayah Triangle, menilai penghasutan rasis terhadap warga Palestina 1948 bukan lagi sekadar ulah ekstremis. Ia menyebutnya sebagai “budaya umum” yang kini mengakar dalam masyarakat Israel, dibentuk dan dibakar langsung oleh kebijakan resmi pemerintah.

Warga Palestina di Israel kini diperlakukan sebagai “musuh dalam selimut”, yang membentuk iklim sosial-politik penuh kekerasan, diskriminasi, dan impunitas.

“Negara Israel sendiri kini menjadi produsen dan pelaksana kebijakan penghasutan,” ujarnya. Bukti paling nyata: sembilan pemuda Palestina yang ditembak mati oleh polisi Israel sejak awal tahun, tanpa satu pun pertanggungjawaban hukum.

Hegemoni Narasi, Pembunuhan Identitas

Khaled Zabarqa, pengacara dan Ketua Komite Rakyat Lod, menyebut ini sebagai bagian dari proyek “rekayasa kesadaran”—di mana negara berusaha membentuk ulang identitas dan memori kolektif warga Palestina agar tunduk pada narasi Zionis.

Setiap ungkapan nasionalisme, keislaman, atau solidaritas kini dikriminalisasi. Ulama dan tokoh kharismatik seperti Sheikh Raed Salah terus-menerus dikejar dan dihukum, hanya karena membela Al-Quds dan Masjid Al-Aqsa.

Zabarqa menegaskan: sejak 7 Oktober 2023, Israel memanfaatkan isu “penghasutan” untuk menindas semua suara solidaritas terhadap Gaza. Tapi narasi Zionis tak akan pernah menang mutlak. Rezim bisa membungkam, namun tak bisa menghapus kesadaran.

Kesimpulan: Penghapusan yang Terstruktur

Penghasutan, diskriminasi, dan penindasan terhadap warga Palestina 1948 bukanlah reaksi emosional, melainkan strategi kekuasaan. Sebuah proyek panjang untuk menghapus keberadaan mereka dari lanskap politik dan sosial Israel. Tapi sejarah mengajarkan: dari puing-puing penindasan, selalu lahir keteguhan. Dan selama masih ada yang berani bersuara, narasi Palestina tak akan pernah padam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here